Ketika P2K menjadi 'Raja' yang Tak Punya Rasa Malu dan Harga Diri

MALAM itu, di tengah suara jangkrik yang seolah juga ikut resah, rakyat berkumpul. Bukan untuk syukuran, bukan pula kenduri keuchik terpilih, tapi untuk rapat umum darurat, forum langka yang muncul hanya ketika demokrasi sudah dicabik-cabik oleh ego pribadi dan rasa malu yang hilang ditelan kursi. Dan pusat dari segala keresahan itu adalah tiga huruf keramat yakni P2K.
Ketika P2K menjadi Raja yang Tak Punya Rasa Malu dan Harga Diri
Ya, P2K. Panitia Pemilihan Keuchik yang awalnya diharapkan jadi penyambung lidah demokrasi, kini berubah menjadi sumbatan tenggorokan masyarakat. Bukan karena mereka sibuk bekerja, tapi karena mereka sibuk bertahan, meski sudah jelas-jelas ditolak oleh masyarakat. Sebuah semangat juang yang, kalau disalurkan ke arah yang benar, bisa jadi bahan motivasi nasional.

Lucunya, di tengah segala penolakan itu, tidak tampak sedikit pun rona malu di wajah para anggota P2K. Tidak ada goyah, tidak ada ragu, tidak ada lirikan ke cermin untuk bertanya, “Apakah aku masih layak dipercaya?”

Mereka berdiri kokoh, seperti tembok tua yang sudah retak tapi tetap bersikeras menyangga rumah roboh. Mereka tidak bicara soal memperbaiki kepercayaan, tidak pula soal membangun ulang hubungan dengan rakyat. Yang mereka bicarakan adalah satu hal, bertahan.

Seorang warga bahkan sempat berseloroh:
“Mereka ini kayak lem stiker murahan, begitu lengket ke jabatan, susah dilepas. Tapi sayangnya, kualitasnya juga murahan.”
Kalimat ini, meski terdengar lucu, menyimpan ironi yang perih. Sebab, ketika sebuah jabatan sudah tidak berlandaskan kepercayaan, maka yang tinggal hanyalah kerak kehormatan.

Rakyat Sudah Bersuara, tapi Siapa yang Mendengar?

Dalam rapat yang berlangsung hingga nyaris dini hari itu, masyarakat tidak main-main. Mereka datang bukan untuk ribut-ribut kecil ala tetangga rebutan pagar. Mereka datang dengan satu misi, mengembalikan marwah demokrasi.
Tuntutannya sederhana, Bubarkan P2K, bentuk ulang secara terbuka. Libatkan masyarakat. Hormati suara publik.
Namun, seperti biasa, dalam drama politik lokal, suara rakyat hanya dianggap sebagai gangguan latar belakang. Seperti suara keran bocor di dapur, terdengar, tapi dibiarkan. Lebih penting menjaga kursi daripada memperbaiki sistem.

Yang membuat rakyat semakin panas adalah ketika salah satu perwakilan pemerintahan lokal menjawab dengan gaya formal dan dingin:
“Pembubaran P2K tidak ada dasar hukumnya secara eksplisit dalam qanun.”
Wah! Itu jawaban yang jika diputar jadi lagu, akan langsung trending di tangga lagu apatisme lokal. Karena apa? Karena inilah bentuk klasik dari kekuasaan yang takut bertanggung jawab, tapi mahir bersembunyi di balik pasal.

Tak cukup sampai di situ. Dalam forum yang katanya terbuka itu, masyarakat juga mempertanyakan posisi tuha peut. Mereka bertanya dengan polos tapi tajam:
“Tuha peut itu mewakili siapa? Kami, atau P2K?”
Sayangnya, sebagian besar tuha peut lebih mirip juri kontes menyanyi yang tersandera sponsor, mereka tahu siapa yang fals, tapi tetap memberi nilai bagus demi menjaga hubungan.

Padahal masyarakat bukan buta hukum. Mereka paham, bahwa meskipun qanun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang pembubaran P2K, siapa yang menerbitkan SK, dia pula yang berhak membatalkannya. Itu prinsip administrasi yang lebih tua dari Undang-Undang Dasar.

Namun, kekuasaan lokal kadang lebih percaya pada tafsir yang menguntungkan diri sendiri. Akhirnya, suara rakyat dikalahkan oleh pasal-pasal yang dipelintir, bukan demi keadilan, tapi demi mempertahankan posisi P2K yang makin keropos.

P2K Lembaga Kecil Berjiwa Besar dalam Menyangkal Realitas

Harus diakui, semangat juang P2K memang luar biasa. Mereka punya daya tahan mental yang cocok untuk jadi motivator kelas dunia:
“Ditolak? Terus maju! Dicemooh? Tetap bertahan! Didesak bubar? Tersenyum saja!”
Sungguh, seandainya mereka gunakan energi ini untuk memperjuangkan hak rakyat, mungkin satu kecamatan bisa berubah jadi zona demokrasi unggulan. Tapi tidak. Energi itu justru digunakan untuk menolak realitas, menyangkal fakta, dan menghindari introspeksi.

Bayangkan, dalam dunia normal, seorang panitia pemilihan yang ditolak masyarakat akan langsung mengundurkan diri. Bukan karena kalah, tapi karena tahu diri. Tapi tidak dengan P2K ini. Mereka seperti tahu bahwa sistem akan melindungi mereka, selama mereka tidak goyah dan tetap patuh pada jalur kekuasaan.

Satu hal yang patut dicatat adalah, demokrasi bukan hanya soal prosedur. Demokrasi adalah soal kepercayaan, tapi di banyak gampong, termasuk dalam kasus ini, prosedur sering dipakai untuk menginjak-injak akal sehat.
Panitia yang ditolak masih bisa berdalih: “Kami sudah sesuai prosedur.”
Padahal, prosedur tanpa legitimasi hanyalah kertas. Dan legitimasi tanpa kepercayaan hanyalah topeng. Tapi sepertinya, dalam sistem yang sudah lelah mendengar rakyat, topeng lebih dihargai daripada wajah asli.

Melihat gelagat P2K yang tetap bertahan, dan sikap sebagian tuha peut yang ambigu, satu hal yang menjadi kunci adalah ketahanan masyarakat. Ya, kekuasaan tidak akan goyah jika rakyat cepat lelah.

Tapi malam itu telah menunjukkan bahwa rakyat tidak semudah itu dilupakan. Mereka hadir dengan suara bulat, dengan ekspresi muak yang tidak bisa disembunyikan lagi. Mereka membawa pesan, bahwa kalau sistem tak kunjung berubah, maka rakyatlah yang akan berubah, dari penonton menjadi aktor.

Semangat ini tidak boleh padam. Karena setiap kali rakyat bersuara dan ditolak, maka kekuasaan sedang membangun lubang kehancurannya sendiri.

Kepada seluruh masyarakat di mana pun kalian berada, yang sedang mengalami hal serupa, panitia pemilihan yang tidak transparan, tuha peut yang setengah hati, atau pemerintah gampong yang pura-pura tuli, tulisan ini adalah ajakan.
Ajakan untuk: Bersuara tanpa ragu. Melawan dengan cara yang cerdas. Mencatat semua ketimpangan. Menuliskannya, membagikannya, dan mengabadikannya.
Karena sejarah lokal juga punya hak untuk ditulis. Dan kekuasaan yang menindas dengan kesopanan administratif juga harus dipermalukan dengan kecerdasan rakyat.

Ketika Malu Hilang, maka Rakyat Harus Datang

Mungkin P2K akan tetap bertahan. Mungkin tuha peut akan terus menghindar. Tapi yakinlah, rakyat yang terus bersuara tidak akan pernah sia-sia. Sebab, dalam demokrasi, kemuliaan tidak terletak pada siapa yang duduk, tapi pada siapa yang terus berdiri ketika semua orang mulai membungkuk.

P2K boleh tidak malu, tapi rakyat tidak boleh malu untuk menolak, mengecam, dan menertawakan yang layak ditertawakan. Karena dalam sistem yang cacat, satir adalah doa. Dan tulisan seperti ini adalah cara kecil untuk membangkitkan semangat besar.

“Kalau mereka tetap tak tahu malu, maka kita yang tahu benar jangan pernah diam.”

Salam dari pinggir demokrasi, tempat di mana rakyat masih percaya bahwa kejujuran tidak membutuhkan SK.
Jika Anda membaca tulisan ini dan merasa ‘tersindir’, mungkin Anda memang bagian dari masalahnya. Jika tidak merasa apa-apa, mungkin Anda sudah terlalu lama terbiasa.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari Drama Pemilihan Keuchik Gampong. Jika Anda memiliki kisah serupa, jangan ragu untuk membagikannya. Karena dari cerita rakyat, peradaban dibangun.