Pada suatu rapat umum, yang katanya umum tapi banyak yang merasa tak diundang secara batin, pemerintah gampong mengumumkan niat mulia "Kita akan menggelar pemilihan keuchik." Kalimat itu, jika dibaca sepintas, terdengar demokratis. Namun dalam hati masyarakat, terjemahannya adalah, "Kita akan mengulang lagi kesalahan lama dengan aktor baru."
Tentu saja, masyarakat tidak tinggal diam. Mereka menyampaikan penolakan. Bukan karena mereka ingin menunda takdir, tapi karena dua alasan besar yang harus menjadi atensi semua. Pertama, ada surat himbauan dari Sekda Aceh soal relaksasi Pemilihan Keuchik, karena UU No. 11 Tahun 2006 sedang dalam proses upaya hukum. Jadi secara yuridis, suasananya masih abu-abu, seperti kopi pagi yang lupa dikasih gula.
Kedua, dan ini yang membuat darah warga mendidih tanpa perlu kompor, dugaan penyimpangan dana desa yang nilainya ratusan juta. Termasuk pengelolaan BUMG yang lebih misterius daripada kisah harta karun peninggalan sesepuh dulu. Warga meminta agar dua perkara ini diselesaikan dahulu, baru bicara soal pemilihan keuchik. Ibarat rumah bocor, selesaikan dulu gentengnya sebelum undang tukang dekorasi.
Pemerintahan gampong, dengan wajah tenang seperti patung Liberty, meng-iya-kan tuntutan masyarakat. Tapi kemudian, seperti pesulap yang menarik kelinci dari topi, mereka tetap melanjutkan rekrutmen Panitia Pemilihan Keuchik (P2K). Alasannya? Sudah diperintahkan oleh pihak kecamatan, dan itu merupakan hak prerogatif Tuha Peut. Ah, prerogatif! Kata sakti yang bisa mengubah tinta hitam jadi putih.
Tuha Peut, dalam rapat umum yang sama, menyampaikan janji suci, meskipun ada desakan penundaan Pemilihan Keuchik, rekrutmen P2K tetap akan dilakukan, tapi buka ditunjuk melainkan dibuka rekruitmen secara terbuka. Masyarakat pun sedikit lega, berharap bahwa kali ini, setidaknya proses akan berbau demokrasi, meski hasilnya belum tentu.
Namun ternyata, harapan itu hanya sebatas formalitas ucapan. Ketika informasi P2K keluar, daftar nama-nama yang muncul justru membuat warga terpingkal bukan karena lucu, tapi karena miris. Dari daftar itu, muncul nama-nama yang bahkan tak pernah hadir dalam rapat umum. Ironisnya, mereka adalah orang-orang yang secara genealogis sangat dekat dengan bakal calon keuchik yang kini menjabat di struktur pemerintah desa. Sebuah kebetulan yang terlalu kebetulan.
Salah satu masyarakat yang punya sedikit kemampuan membaca situasi, ia mencoba menyampaikan keresahan ini kepada si bakal calon yang kebetulan adalah seniornya di kampus dulu. Menariknya, sebelum ia menyebut soal kekerabatan atau kedekatan tim P2K dengan dirinya, bakal calon itu langsung menyampaikan klarifikasi "Itu bukan orang-orang yang saya rekomendasikan."
Aha! Ia padahal belum menyebut siapa-siapa, tapi sang bakal calon merasa perlu membela diri. Sebuah refleks yang, menurut ilmu komunikasi politik, menunjukkan rasa cemas yang sulit ditutupi. Jika memang bukan pilihannya, kenapa buru-buru mengklarifikasi? Atau jangan-jangan, seperti anak kecil yang habis menyentuh toples kue, dia refleks menjilat jari sendiri?
Kemarahan warga pun makin membuncah. Nama-nama P2K itu bahkan masih satu nenek dalam satu ikatan darah. Sehingga timbul pertanyaan dari masyarakat, apakah tidak orang lain di gampong itu?Masyarakat merasa dikhianati bukan oleh musuh, tapi oleh.. ah ya sudahlah.
Dan ketika kepercayaan dirusak dari dalam, maka yang muncul bukan hanya kekecewaan, tapi rasa ingin memperbaiki dengan cara yang lebih tegas yang jauh dari konteks kekeluargaan. Dan dalam konteks ini, sudah waktunya masyarakat mempertimbangkan untuk mengundang aparat penegak hukum.
Bukan untuk menghukum siapa pun secara tergesa, tapi untuk menelusuri dan memastikan apakah benar dana desa dan dana BUMG dikelola dengan benar yang merupakan 2 persoalan besar sehingga memunculkan pertentangan untuk diselenggarakan Pemilihan Keuchik. Jika semua bersih, mari kita tepuk tangan. Tapi jika ada noda, maka hukumlah yang harus bicara.
Karena membiarkan dugaan penyimpangan tanpa klarifikasi hukum adalah seperti membiarkan luka bernanah tanpa diobati. Lama-lama, bukan hanya sakit, tapi bisa membuat seluruh tubuh (gampong) lumpuh.
Semua percaya, demokrasi bukan hanya soal mencoblos. Demokrasi adalah keberanian untuk berkata benar meski tidak nyaman. Maka dari itu, pemilihan keuchik seharusnya bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana prosesnya dijalankan. Apakah adil? Apakah terbuka? Apakah masyarakat dilibatkan? Atau semua hanya skenario lama dengan pemeran baru?
Gampong mereka, sayangnya, sedang memainkan opera sabun politik lokal yang naskahnya ditulis oleh segelintir orang, namun ditonton dan dibiayai oleh seluruh warga. Jika tidak dihentikan, maka mereka hanya akan terus menjadi penonton setia dari drama yang tak pernah benar-benar berubah, janji, penolakan, klarifikasi, pembentukan tim, kekecewaan, dan kembali ke awal.
Tapi ia masih punya harapan. Harapan bahwa suara-suara jujur, meski kecil, akan menemukan gaungnya. Harapan bahwa mereka bisa memperbaiki, bukan hanya mengkritik. Harapan bahwa keuchik ke depan, siapa pun dia, lahir dari proses yang bersih, bukan dari permainan siluman di balik layar.
Maka, kepada pemerintahan gampong, tuha peut, P2K, dan semua yang merasa memiliki kekuasaan, ingatlah bahwa kekuasaan itu sementara, tapi integritas akan dikenang lama. Dan kepada masyarakat, jangan pernah takut untuk bersuara. Karena diam adalah bentuk restu terhadap ketidakadilan.
Dan kepada aparat penegak hukum, ditunggu langkahnya. Karena hukum yang tak turun tangan saat rakyat resah, adalah hukum yang kehilangan maknanya.
Semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai upaya memecah belah, tapi sebagai suara hati dari gampong yang merindukan keadilan. Jika satu suara tak cukup, biarlah ia menjadi percikan. Karena kadang, perubahan besar dimulai dari bara kecil yang tak mau padam.
Hormat, Seorang warga biasa yang menolak untuk pura-pura tidak tahu.[]