Perempuan di Panggung Demokrasi: Penonton, Figuran, atau Pemeran Utama?

DEMOKRASI menjanjikan ruang partisipasi yang setara bagi semua warga negara, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, atau latar belakang budaya. Namun, dalam praktiknya, apakah perempuan benar-benar telah menjadi bagian utama dari panggung demokrasi? Ataukah mereka masih berada di pinggiran, sekadar penonton, bahkan hanya figuran dalam naskah besar politik dan kekuasaan?
Perempuan di Tengah Panggung Demokrasi
Melalui ini saya ingin mengajak kita semua, baik laki-laki maupun perempuan untuk merenungkan peran perempuan dalam demokrasi hari ini, khususnya di Indonesia. Sebuah refleksi penting untuk mengukur sejauh mana kita sudah membuka ruang yang inklusif atau justru masih terjebak dalam sistem patriarki yang bersembunyi di balik jargon demokrasi.

Secara hukum, Indonesia tidak pernah membatasi peran perempuan dalam politik dan demokrasi. Bahkan, UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Begitu juga dalam Pasal 28D ayat (3) yang menjamin setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menegaskan bahwa partai politik wajib mengakomodasi sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif. Aturan ini merupakan upaya afirmatif untuk mendorong partisipasi politik perempuan. Namun, pertanyaannya: apakah aturan ini cukup? Apakah keberadaan perempuan dalam politik hanya sebatas angka dan formalitas?

Angka Tak Selalu Bicara

Meski ada aturan afirmatif, partisipasi perempuan dalam politik masih jauh dari kata ideal. Data KPU 2024 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR RI hanya mencapai sekitar 21,6%. Di tingkat daerah, kondisinya bahkan lebih rendah. Banyak perempuan yang masuk dalam daftar caleg hanya sebagai pelengkap syarat administratif. Mereka tidak didorong secara serius untuk menjadi pemenang, bahkan seringkali tidak mendapatkan ruang kampanye dan dukungan sumber daya.

Dalam pemilu lokal, sering ditemukan kasus perempuan "pinjaman nama" atau "caleg pelengkap" yang sebenarnya tidak memiliki niat atau kapasitas politik, melainkan dimasukkan agar partai tidak kena sanksi administratif. Ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, perempuan masih diposisikan sebagai figuran, bukan pemeran utama.

Salah satu kendala terbesar bagi keterlibatan perempuan dalam demokrasi adalah budaya patriarki yang masih kuat. Perempuan seringkali dianggap tidak layak memimpin, tidak pantas bicara soal politik, atau tidak punya cukup waktu karena harus mengurus rumah tangga.

Beban ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja atau aktivis politik menjadikan banyak perempuan enggan atau kesulitan masuk ke dunia politik. Belum lagi stigma yang melekat bahwa perempuan yang terlalu aktif di luar rumah dianggap mengabaikan tanggung jawab domestik.

Padahal, tokoh perempuan seperti Kartini, Cut Nyak Dhien membuktikan bahwa perempuan memiliki kapasitas kepemimpinan dan daya juang yang tinggi. Sayangnya, semangat ini belum sepenuhnya diwarisi dalam sistem sosial dan politik kita.

Kita bisa melihat bagaimana tokoh perempuan sering kali mendapatkan perlakuan berbeda dalam politik. Kritik terhadap pemimpin perempuan seringkali bernada seksis. Misalnya, perempuan dinilai terlalu emosional, tidak tegas, atau terlalu lemah untuk mengambil keputusan. Padahal jika kita jujur, banyak politisi laki-laki yang emosional, tidak tegas, bahkan korup, tetapi tidak pernah mendapatkan stigma karena jenis kelaminnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah contoh nyata bagaimana perempuan mampu mengelola sektor penting dalam pemerintahan. Namun, bukan berarti jalan yang dilaluinya mulus. Ia pun harus menghadapi tekanan politik, serangan pribadi, dan kritik gender yang tidak adil.

Demokrasi sejatinya bukan hanya soal memilih pemimpin setiap lima tahun. Demokrasi adalah tentang ruang hidup bersama yang adil, terbuka, dan setara. Dalam konteks ini, perempuan bukan hanya harus diberi ruang, tetapi juga diberi panggung dan hak untuk bicara, mengambil keputusan, dan menentukan arah pembangunan.

Partisipasi perempuan harus dimaknai sebagai kontribusi nyata, bukan sekadar keterwakilan simbolik. Harus ada pembinaan kader perempuan yang sistematis, peningkatan kapasitas, perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender, dan perubahan budaya organisasi partai politik.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Reformasi Partai Politik

Partai politik harus menjadi garda terdepan dalam membuka ruang partisipasi perempuan. Jangan lagi menjadikan perempuan hanya sebagai pemenuhan kuota. Harus ada program kaderisasi, pelatihan kepemimpinan, dan pemberian ruang kampanye yang adil.

2. Pendidikan Politik Inklusif

Mulai dari sekolah hingga masyarakat, pendidikan politik harus menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender. Anak-anak harus dididik bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memimpin.

3. Dukungan Keluarga dan Masyarakat

Perempuan yang ingin terjun ke politik harus mendapat dukungan penuh dari keluarga dan komunitas. Jangan lagi ada cibiran atau stigma bahwa perempuan yang aktif di luar rumah adalah tidak patut.

4. Media yang Adil Gender

Media punya peran penting dalam membentuk opini publik. Media harus berhenti memberitakan tokoh perempuan hanya dari sisi penampilan atau kehidupan pribadinya. Liputan harus fokus pada gagasan, kinerja, dan program.

5. Perlindungan Hukum terhadap Kekerasan Politik Gender

Banyak perempuan enggan masuk politik karena takut terhadap intimidasi, pelecehan, atau kekerasan verbal. Perlu ada regulasi yang tegas dan mekanisme perlindungan yang efektif.

Perempuan bukan pelengkap. Perempuan bukan angka statistik. Perempuan adalah warga negara yang utuh, dengan hak dan kapasitas yang sama untuk memimpin, mengkritik, dan memperbaiki sistem.

Demokrasi tidak akan lengkap tanpa partisipasi penuh perempuan. Dan kita semua bertanggung jawab untuk membuka jalan itu. Jika demokrasi adalah panggung, maka sudah saatnya perempuan mengambil alih peran utama.

Seperti kata Hillary Clinton "Women are the largest untapped reservoir of talent in the world." Di Indonesia, kita hanya akan maju jika kita berani membiarkan potensi besar ini memimpin, bukan hanya mengamati dari pinggir panggung.

Penutup

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini bukan hanya refleksi, tapi juga tantangan. Apakah kita masih membiarkan perempuan hanya menonton dari bangku penonton demokrasi? Apakah kita puas dengan peran mereka sebagai figuran? Atau, apakah kita siap untuk menjadikan mereka pemeran utama?

Pilihan ada di tangan kita semua sebagai pemilih, sebagai partai politik, sebagai masyarakat, dan sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk para perempuan.

Mari kita buka mata, buka hati, dan membuka jalan bagi perempuan untuk benar-benar hadir dan memimpin di panggung demokrasi. Bukan hanya untuk mereka, tapi untuk kita semua.[]