Menjaga Marwah Etik Penyelenggara Pemilu untuk Demokrasi yang Sehat

SEBUAH Pandangan atas Penutupan Sidang Kode Etik KIP Bireuen

Integritas pemilu adalah fondasi demokrasi. Dalam konteks itu, penyelenggara pemilu memegang peran yang sangat strategis dan menentukan, bukan hanya dari sisi teknis administratif, tetapi juga dari sisi etik dan moral. Dugaan pelanggaran etik yang melibatkan penyelenggara pemilu tidak bisa dipandang semata sebagai urusan internal kelembagaan, tetapi sebagai bagian dari upaya menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Belakangan, publik dikejutkan dengan informasi penutupan sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik terhadap anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Bireuen oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sidang dengan nomor perkara 82-PKE-DKPP/II/2025 tersebut dihentikan pada tahap pembukaan karena pihak pengadu, yaitu Panwaslih Bireuen, mencabut laporan aduan.
Menjaga Marwah Etik Penyelenggara Pemilu
Melihat fakta tersebut, saya memiliki pandangan tersendiri. Pandangan ini bukan untuk mengintervensi proses etik atau meragukan otoritas DKPP sebagai lembaga yang independen dan profesional, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan etik saya dalam menjaga marwah penyelenggaraan pemilu yang berintegritas.

Penutupan Sidang dan Persepsi Publik

Penutupan sidang etik terhadap KIP Bireuen menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan masyarakat, serta lembaga-lembaga masyarakat sipil. Apalagi, laporan ini berkaitan dengan dugaan penukaran pertanyaan dari amplop tersegel pada saat pelaksanaan debat publik calon kepala daerah di Kabupaten Bireuen.

Ketika laporan etik seperti ini ditutup tanpa pembuktian lebih lanjut, muncul kekhawatiran bahwa potensi pelanggaran etik tidak ditangani secara tuntas. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu, apalagi ketika laporan menyangkut tindakan yang diduga mengganggu prinsip keadilan dan kesetaraan dalam kontestasi politik.

Demokrasi kita tidak hanya diukur dari berjalannya proses pemilu, tetapi juga dari persepsi masyarakat terhadap kejujuran dan keadilan penyelenggara. Oleh karena itu, setiap dugaan pelanggaran etik, apakah terbukti atau tidak perlu diklarifikasi secara terbuka dan transparan.

Etika sebagai Pilar Penyelenggara Pemilu

Etika bukan pelengkap. Etika adalah pilar. Kode etik penyelenggara pemilu bukan sekadar daftar larangan, melainkan kompas moral yang membedakan pemilu yang demokratis dari pemilu yang manipulatif. Dalam konteks ini, DKPP bukan hanya lembaga pengadil, tetapi juga penjaga integritas sistem kepemiluan.

Seperti beberapa kasus sebelumnya, DKPP menunjukkan bahwa mereka tetap melanjutkan sidang etik meskipun pelapor mencabut laporan, selama terdapat kepentingan etik yang lebih besar. Dalam kasus Anggota Bawaslu Kabupaten Banjar dan Konawe misalnya, DKPP tetap menggelar sidang karena laporan dinilai memiliki urgensi etik dan berdampak luas pada kepercayaan publik.

Dalam kasus KIP Bireuen, laporan etik dicabut oleh Panwaslih Bireuen dengan alasan bahwa masa tugas mereka telah berakhir pada 18 Mei 2025. Ini adalah alasan legal-formal yang sah. Namun, dalam kerangka etik, substansi dari laporan tetap relevan meskipun pelapor tidak lagi menjabat.

Perlu dipahami bahwa lembaga seperti Panwaslih dan Bawaslu bekerja atas mandat publik. Meskipun masa kerja berakhir, dugaan pelanggaran yang terjadi dalam masa tugas tetap menjadi bagian dari tanggung jawab etik.

Dalam situasi ini, sangat penting agar ada mekanisme lanjutan yang memungkinkan laporan tetap diproses oleh DKPP meskipun pelapor telah menyelesaikan masa tugasnya.

Sebagai bagian dari Bawaslu Bireuen, saya ingin menyampaikan bahwa pandangan ini bukan bentuk intervensi terhadap DKPP ataupun terhadap KIP. Justru sebaliknya, ini adalah bagian dari komitmen untuk menjaga profesionalisme lembaga pengawas pemilu. Kritis terhadap proses tidak sama dengan menyerang lembaga.

Bawaslu sebagai lembaga pengawas harus berdiri di atas semua kepentingan dan menjaga netralitas. Dalam konteks ini, mengajukan pertanyaan kritis terhadap penutupan sidang etik adalah bentuk tanggung jawab, bukan bentuk keberpihakan.

Kasus ini harus menjadi refleksi kolektif. Baik KPU, Bawaslu, maupun DKPP harus bersama-sama memperkuat komitmen terhadap budaya etik. Tidak cukup hanya menjalankan tahapan pemilu sesuai aturan, tapi juga harus menghidupkan semangat etik dalam setiap keputusan dan tindakan.

Saya percaya DKPP memiliki diskresi yang luas dalam memutuskan apakah suatu perkara layak dilanjutkan atau dihentikan. Namun, penting juga untuk mempertimbangkan efek jangka panjang dari setiap keputusan terhadap persepsi publik dan pembelajaran kelembagaan.

Sebagai penyelenggara pemilu, kita semua bertanggung jawab menjaga integritas demokrasi, bukan hanya melalui regulasi dan prosedur, tapi juga melalui keteladanan etik. Ketika ada dugaan pelanggaran, jangan buru-buru menutup pintu. Biarkan proses berjalan, biarkan publik menyaksikan, dan biarkan kebenaran diuji.

Pandangan ini saya sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan etik, bukan sebagai penilaian akhir atas perkara. Saya tetap percaya bahwa DKPP adalah lembaga terhormat yang akan menimbang setiap langkahnya dengan bijaksana. Namun, suara publik merupakan bagian penting dari ekosistem demokrasi yang sehat.

Mari kita jaga marwah pemilu, bukan hanya dengan aturan, tapi juga dengan keberanian untuk bersikap benar meski sulit. Karena dalam demokrasi, keheningan terhadap dugaan pelanggaran etik bisa sama buruknya dengan pelanggaran itu sendiri.

Catatan: Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dalam kapasitas sebagai warga negara dan bagian dari penyelenggara pemilu yang menjunjung tinggi prinsip etik, bukan pernyataan resmi kelembagaan dari Bawaslu Kabupaten Bireuen.