Bukan sembarang pak guru, tapi Pak Guru dengan “P” kapital, “G” kapital, dan ego super jumbo yang tak muat di kantong kebijaksanaan. Ia adalah mantan pendidik yang tampaknya lebih banyak mengajar murid untuk diam daripada berdiskusi. Kini setelah pensiun, dia menemukan panggung barunya, forum Tuha Peut tempat di mana ia tak hanya bicara, tapi berkhotbah... tanpa jeda.
Pak Guru tak butuh mic, suaranya sudah built-in keras sejak lahir. Ketika forum musyawarah dimulai, ia membuka rapat bukan dengan salam, tapi dengan nama-nama calon P2K yang sudah ia susun dengan penuh “visi dan misi pribadi.” Saking semangatnya, daftar itu sudah dicetak rapi dan diberi map warna biru yang merupakan warna favoritnya waktu masih jadi wali kelas.
“Tak usah banyak debat. Saya sudah pertimbangkan semuanya,” katanya dengan penuh semangat reformasi yang salah alamat.
Anggota Tuha Peut lain yang sebagian pensiunan, sebagian lagi pengangguran terhormat hanya bisa melongo. Mereka sempat ingin menolak, tapi berat. Bukan karena argumen Pak Guru kuat, melainkan karena takut dianggap melawan orang tua. Di gampong ini, melawan mantan guru itu setara dosa sosial kelas menengah ke atas.
Rapat yang harusnya menjadi ruang dialog berubah menjadi ruang stand up comedy satu arah. Dialog lenyap, debat dilarang, dan semua suara dibungkam oleh satu suara yang merasa lebih paham karena pernah jadi pembina upacara.
Ketua Tuha Peut, sang penjaga palu suci musyawarah, mulai gelisah. Ia duduk di ujung meja, matanya memandang kosong ke arah kalender dinding bergambar masjid. Sesekali ia menggigit bibir, bukan karena lapar, tapi karena menahan sumpah serapah agar tak bocor dari mulutnya.
“Forum ini bukan forum lagi,” gumamnya dalam hati. “Ini sudah mirip sinetron politik bertabur bintang tamu, dan saya hanya figuran yang ditugasi mengetuk palu saat episode selesai.”
Akhirnya, meski hati menolak, ia mengetuk palu juga. Tiga kali. Tok. Tok. Tok. Dan dengan itu, daftar P2K yang lebih mirip hasil polling pribadi Pak Guru pun disahkan.
Ketika tengah malam, Ketua pulang dengan langkah gontai. Istrinya menyambut dengan teh manis dan pertanyaan biasa, “Gimana musyawarahnya?” Ia hanya menjawab lirih, “Kayak nonton film horor tapi tanpa efek suara. Seremnya diam-diam.”
Besoknya, desas-desus mulai berhembus. Masyarakat bertanya-tanya, kok bisa si anu yang doyan rebahan masuk ke P2K? Kenapa si itu yang dulu pernah ngatur kas masjid jadi kacau, malah ditunjuk jadi panitia pemilu gampong?
Ketua tak bisa menjelaskan. Di depan masyarakat, ia harus terlihat tegas dan yakin. Tapi dalam hati, ia sedang memainkan monolog Shakespeare versi kampung:
“Aku mengetuk palu demi forum, tapi palu itu bukan milikku lagi. Ia telah dipegang oleh tangan-tangan nostalgia dan suara yang terlalu keras untuk dibantah.”Pak Guru, di sisi lain, tetap santai. Ia tetap duduk di warung kopi seperti biasa, dikelilingi para fans senior yang lebih peduli soal diskon beras daripada demokrasi. Ia bahkan mengatakan: “Ribut-ribut itu karena masyarakat belum tercerahkan. Mereka belum sampai pada tingkat pemahaman saya.”
Ah ya, tingkat pemahaman Pak Guru memang unik. Ia percaya musyawarah adalah ketika satu orang bicara, dan yang lain hanya mengangguk sambil berharap kopi di meja segera datang.
Sementara itu, Ketua Tuha Peut mulai kehilangan arah. Ia merasa seperti pelaut tua yang dipaksa mengemudikan kapal dari belakang layar. Palu di tangannya kini seperti palu godam, berat, besar, tapi tak bisa menolak tugas.
Beberapa anggota Tuha Peut yang sebelumnya diam, kini malah lebih licin dari belut lepas dari ember. “Kami ikut saja,” kata mereka. “Pak Guru lebih tahu.”
Ketua ingin balas berkata, “Tahu dari mana? Kan dia yang menyusun semua!” Tapi ia urung. Karena di kampung, adu argumen dengan senior bisa berakhir jadi bahan ceramah Jumat atau pembahasan RT berbulan-bulan.
Ketua ingin balas berkata, “Tahu dari mana? Kan dia yang menyusun semua!” Tapi ia urung. Karena di kampung, adu argumen dengan senior bisa berakhir jadi bahan ceramah Jumat atau pembahasan RT berbulan-bulan.
Dalam diamnya, ia mulai menulis catatan harian. Ia beri judul “Palu yang Digiring.” Dalam salah satu halamannya tertulis:
“Aku tidak salah. Tapi aku membiarkan kesalahan terjadi. Demi keharmonisan, aku membungkam nurani. Kini, yang terlihat hanya aku. Dan yang dicaci, juga aku.”Hari-hari berjalan, protes warga semakin nyaring. Pamflet bermunculan, parodi di TikTok mulai viral, dan P2K jadi bahan lawakan anak muda. Tapi tetap, P2K itu tak bubar. Ia tetap berdiri gagah meski fondasinya rapuh sejak lahir.
Ketua pun kembali duduk di forum. Kali ini lebih tenang, bukan karena damai, tapi karena pasrah. Ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan ditanggapi dengan kalimat sakti Pak Guru, “Sudah, jangan dibesar-besarkan. Ini semua sudah sesuai prosedur—prosedur satu arah.”
Di akhir cerita, Ketua menulis catatan terakhirnya dengan tangan gemetar:
Di akhir cerita, Ketua menulis catatan terakhirnya dengan tangan gemetar:
“Aku telah menjadi Ketua yang tidak memimpin. Aku mengetuk palu bukan untuk menyetujui, tapi untuk menjaga bangunan yang sudah retak. Dan suatu hari, ketika sejarah menoleh ke belakang, aku harap ia tahu bahwa aku pernah ingin melawan, tapi tak cukup berani untuk jadi pecundang pertama di forum yang dikendalikan satu orang.”Musyawarah kembali dimulai. Ketua duduk diam. Di sebelahnya, Pak Guru siap membuka daftar agenda baru. Tapi di benak Ketua, satu kalimat berputar terus “Forum ini belum bubar. Tapi nuraniku sudah lama pamit.”
Disclaimer: Cerita ini hanya fiksi, hasil khayalan liar penulis yang kebetulan sedang terlalu banyak ngopi. Jika kisah ini terasa seperti mencerminkan kejadian nyata atau menggambarkan seseorang yang kamu kenal... yah, mungkin itu kamu.
Tapi jangan baper, karena tujuannya adalah menyentil, bukan menampar. Lagipula, kalau kamu tenang-tenang saja saat membaca, mungkin kamu memang bukan masalahnya.