Refleksi Satir tentang Peran Gender dan Keadilan Rumah Tangga dalam Islam

PERNAH lihat pemandangan begini: di pagi hari yang cerah, warung kopi penuh dengan laki-laki berpenampilan rapi, rambut klimis, baju wangi, r0k0k di tangan kanan, gelas kopi di tangan kiri. Obrolan ngalor-ngidul, dari soal politik nasional sampai gosip tetangga yang jual rumah karena cicilan motor menunggak.
Peran Gender dan Keadilan Rumah Tangga dalam Islam
Sementara itu, beberapa meter dari situ mungkin hanya sepelemparan puntung r0k0k dari warung tadi istri mereka sedang menyulap rumah jadi medan perang. Ada panci mendidih, baju anak yang belum disetrika, dan suara rengekan bocah yang belum mandi. Dan jangan lupa, waktu terus berjalan, dan jam sekolah anak tinggal 15 menit lagi.

Kontras ini begitu akrab dalam kehidupan kita, sampai rasanya tak perlu dipertanyakan. Bahkan, ketika si suami pulang menjelang siang tanpa belanjaan dan tanpa rasa bersalah, ia tetap percaya diri menyebut dirinya kepala keluarga. Kepala? Bisa jadi. Tapi kalau dilihat dari fungsinya, kadang lebih mirip topi. Hanya hiasan, dipakai sesekali, dan mudah dilepas saat tak nyaman.

Warung kopi itu memang nikmat. Ada ketawa, diskusi, bahkan ceramah dadakan, tapi ketika ia jadi tempat pelarian dari tanggung jawab rumah tangga, ia berubah dari ruang sosial menjadi ruang pelupa. Melupakan bahwa di rumah, ada istri yang butuh bantuan, anak-anak yang butuh perhatian, dan dapur yang butuh diisi.

Baca: Dosen: Antara Pengabdian, Penelitian, dan Pengencangan Ikat Pinggang

Ironisnya, dunia luar bisa tampak begitu tertib dan rapi, wangi parfum, baju disetrika licin, senyum mengembang. Padahal di balik itu, ada ketimpangan yang rapi juga, rapi tak terlihat. Bahkan tak jarang, anak-anak terlihat berangkat sekolah sendiri, baju belum disetrika, sepatu beda warna. Tapi ayahnya? Wangi parfumnya bisa bikin semut diabetes.

“Kok Suaminya yang Jemur Baju?” Sebuah Sindiran Klasik

Dari sinilah muncul stigma yang masih awet bertahan, laki-laki yang membantu pekerjaan rumah dipandang aneh. Pernah saya menjemur pakaian di pagi hari. Tangan kanan pegang hanger, tangan kiri mengibas-ngibas karena matahari sudah mulai panas. Lalu tetangga lewat, bertanya dengan nada yang lebih mirip ejekan ketimbang keheranan, “Istrinya ke mana, Bang, kok suaminya yang jemur baju?”

Saya jawab, “Lagi sakit,” padahal istri lagi rebahan sambil scroll TikTok. Kenapa saya bohong? Bukan karena malu menjemur, tapi karena malas debat sama budaya patriarki yang sudah terlanjur karatan.

Dan di situlah letak masalahnya. Kita hidup dalam masyarakat yang masih menganggap peran domestik sebagai ‘wilayah perempuan’. Faktanya, suami yang mengerjakan pekerjaan rumah bukan berarti takut istri. Sama seperti perempuan yang kerja di luar rumah bukan berarti dia tak taat. Ini bukan soal siapa takut siapa, tapi siapa sadar tanggung jawab dan siapa yang memilih nyaman dalam ketimpangan.

Lalu, kalau mau cari panutan, mari lihat langsung ke teladan terbaik kita. Teladan dari Rasulullah SAW dalam Rumah Tangga. Dalam Islam, Rasulullah SAW adalah sosok yang paling mulia, bukan hanya di masjid dan medan perang, tapi juga di dalam rumah.
Diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa beliau menjahit bajunya sendiri, membantu pekerjaan rumah, memerah susu, dan memperbaiki sandal. Dan ini bukan karena beliau “takut” kepada istrinya tapi karena beliau paham bahwa keluarga adalah kerja sama, bukan dominasi.

Sayangnya, sebagian umat justru memilih menjadi ‘penggemar Rasul’ dalam urusan jenggot dan celana cingkrang, tapi bukan dalam urusan mencuci piring atau mengganti popok. Mereka hafal hadits tentang poligami, tapi mendadak amnesia saat ditanya tentang membantu istri di rumah.

Fenomena Ketimpangan Gender di Rumah Tangga

Mari kita jujur, banyak rumah tangga masih berjalan dengan pola ‘satu kerja, satu lelah.’ Suami merasa tugasnya selesai setelah setor gaji, itu pun kalau setor, sementara istri jadi satpam rumah, koki, guru PAUD, perawat, sampai admin keuangan. Semua tanpa gaji, tanpa cuti, dan sering tanpa apresiasi.

Baca:  Sistem Pendidikan Indonesia: Mengapa Masih Belajar Demi Ujian? 

Parahnya lagi, jika istri mulai tampak kelelahan atau minta suami turun tangan, justru muncul tuduhan "Kamu istri macam apa, kerja rumah aja ngeluh?"

Padahal dalam realitas, istri yang kelelahan bukan karena malas, tapi karena lelahnya tak pernah dianggap serius. Dan suami yang ikut bersih-bersih bukan karena takut istri, tapi karena dia tahu, rumah tangga yang sehat dibangun dengan kolaborasi, bukan kompetisi.

Membangun Rumah Tangga Islami yang Setara

Jika kita ingin rumah tangga yang diridhai Allah, maka keadilan harus menjadi pondasinya. Keadilan, bukan kesamaan. Artinya, membagi peran sesuai kemampuan dan kesepakatan, bukan berdasarkan stereotip gender.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang...
(QS. Ar-Rum: 21)

Kasih dan sayang tak bisa tumbuh dari kelelahan sebelah pihak. Ia tumbuh dari rasa peduli, keterlibatan, dan kemauan untuk saling meringankan. Karena rumah bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat tumbuh dan semua yang tumbuh butuh dipelihara, bersama-sama.

Langkah Konkret untuk Meminimalkan Ketimpangan Gender di Rumah

Berikut beberapa langkah kecil tapi berdampak besar:

1. Mulai dari Komunikasi

Buka ruang diskusi antara suami dan istri. Bicarakan pembagian tugas yang adil, bukan karena tradisi, tapi karena kebutuhan.

2. Hilangkan Kalimat "Itu Tugasmu"

Stop pakai kalimat seperti "Itu kerjaan perempuan" atau "Aku kan cari nafkah". Rumah tangga adalah kerja sama, bukan kontrak kerja formal.

3. Jadwalkan Tugas Rumah Tangga

Mungkin terdengar kaku, tapi pembagian jadwal bisa membuat pekerjaan terasa lebih ringan dan adil. Bisa seminggu sekali suami nyapu halaman, misalnya.

4. Libatkan Anak Sejak Dini

Ajari anak bahwa membersihkan rumah bukan tugas ibu saja. Laki-laki juga harus bisa masak, cuci baju, dan menyapu tanpa rasa malu. Baca Peran Ayah dan Ibu dalam Rumah Tangga

5. Jadikan Rasul sebagai Role Model, Bukan Pajangan

Seriuslah meneladani Rasul SAW dalam segala aspek — termasuk kerendahan hati dan kesediaan beliau dalam urusan domestik.

6. Lawan Sindiran dengan Senyuman

Ketika ada yang menyindir karena menjemur baju atau mencuci piring, balas dengan senyum. Kadang, senyum itu lebih menyakitkan bagi ego patriarki ketimbang argumen panjang lebar.

7. Beri Ruang Istirahat untuk Istri

Kalau suami bisa ngopi pagi-pagi, istri juga berhak rebahan di siang hari. Kalau bisa gantian urus anak, kenapa tidak?

Rumah Tangga Itu Tim, Bukan Arena Adu Peran

Akhirnya, kita harus sadar bahwa rumah tangga bukan panggung di mana laki-laki jadi sutradara dan perempuan jadi figuran. Rumah tangga adalah panggung kolaborasi, di mana semua berperan, semua dihargai, dan semua ikut bahagia.

Jadi, wahai para suami, jangan gengsi menyapu, mencuci, atau menjemur dan memasak. Bukan karena takut istri, tapi karena kita sadar kerja rumah bukan soal gender, tapi soal cinta dan tanggung jawab.

Dan kalau masakanmu kurang rasa? Tenang. Masih ada garam, kecap, dan doa. Tapi rasa keadilan dalam rumah tangga itu yang paling penting untuk dijaga. Semoga!!