Dosen: Antara Pengabdian, Penelitian, dan Pengencangan Ikat Pinggang

AKU masih ingat betul saat duduk di bangku kuliah beberapa waktu yang lalu. Kala itu, dosen-dosenku kerap berbagi cerita yang tak hanya penuh ilmu, tapi juga curhatan tentang gaji yang tak seberapa, beban kerja yang menggila, dan kadang perasaan seperti hidup di antara dunia idealisme dan realita ekonomi.
Dosen Pengabdian Masyarakat dan Penelitian
Cerita-cerita itu terdengar seperti bumbu kehidupan akademik, tapi setelah aku melihat realita di lapangan, aku baru sadar ini bukan sekadar cerita, ini krisis nyata yang bakal terjadi jika tidak diantisipasi. Atas dasar itu, tulisan ini hadir sebagai bentuk kegelisahan dan harapan agar profesi dosen tidak punah seperti kaset pita.

Gaji Dosen: Kecil di Slip, Berat di Hati

Survei dari Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada 2023 mencatat bahwa mayoritas dosen di Indonesia menerima gaji bersih di bawah Rp3 juta. Bahkan banyak yang berada di bawah Rp2 juta mirip UMR, atau malah di bawahnya. Mayoritas Dosen Bergaji di Bawah Rp 3 Juta, Serikat Pekerja Kampus Ungkap Sederet Permasalahannya

Tragis? Tentu. Mungkin lebih layak disebut "relawan intelektual" daripada profesional akademik.

Yang lebih menggelikan (atau menyedihkan?) adalah kenyataan bahwa sebagian besar dosen terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Mulai dari jualan online, ngisi kuis daring, sampai jadi editor freelance. Ini bukan karena mereka haus cuan semata, tapi karena apresiasi yang ia dapatkan dari profesi mulianya tak sebanding dengan pengeluaran saat ini.

Kerja Banyak tapi Tidak Dihitung

Selain gaji yang 'mengenaskan', beban kerja dosen juga tidak main-main. Mengajar, membimbing skripsi, meneliti, menulis jurnal, mengabdi ke masyarakat, ngurus akreditasi, dan kalau kurang capek, masih ada urusan administrasi.

Sayangnya, banyak dari pekerjaan itu tidak dihargai secara materiil. Sering kali, dosen dinilai dari jumlah publikasi, tapi tanpa dukungan dana riset yang memadai. Seolah-olah penelitian bisa dilakukan pakai semangat dan kopi sachet.

Generasi Muda dan Realita

Dengan kondisi seperti ini, wajar jika generasi muda ogah-ogahan jadi dosen. Bahkan ada yang terang-terangan bilang, "#JanganJadiDosen" di media sosial. Lucu, tapi miris. Mereka lebih tertarik jadi selebgram edukatif yang bisa ngajar sambil monetize YouTube.

Pakar dari Unair dan anggota DPR pun menyuarakan keprihatinan: kalau tidak segera ada perbaikan, profesi dosen bisa jadi sepi peminat. Dan ketika yang tua pensiun, siapa yang akan menggantikan mereka?

Niat Baik Masih Tertunda

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Beberapa kebijakan sudah diluncurkan:
  1. Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024: Melarang kampus membayar dosen di bawah UMK. Sebuah langkah maju, walau implementasinya masih kayak sinetron: banyak jeda.
  2. Kenaikan Gaji ASN: Melalui PP No. 5 Tahun 2024, gaji dosen ASN naik. Contohnya, dosen golongan III/b kini menerima Rp2.9 juta, dan S3 baru lulus bisa tembus Rp3.2 juta. Tapi, ya... masih belum bikin rekening menari.
  3. Tunjangan Kinerja (Tukin): Pemerintah menyetujui Rp2,5 triliun untuk tukin dosen. Tapi karena perubahan nomenklatur kementerian, realisasinya tertunda. Lagi-lagi, niat baik yang nyangkut di tengah jalan.

Solusinya?

Kalau tidak segera dibenahi, kita akan menghadapi kelangkaan dosen. Seperti dinosaurus, mereka akan punah tinggal dikenang dalam buku sejarah akademik. Untuk menghindari itu, berikut solusi bijak nan logis:

1. Naikkan Gaji dan Tunjangan

Bukan hanya sesuai UMK, tapi layak untuk hidup bermartabat. Sertakan insentif berbasis kinerja dan penelitian agar dosen punya motivasi lebih.

2. Program Fast Track untuk Dosen Muda

Berikan beasiswa S2-S3 plus jaminan karier untuk mahasiswa unggulan yang mau jadi dosen. Kalau bisa, plus bonus jalan-jalan akademik ke luar negeri biar makin menarik.

3. Dosen Praktisi dan Digital

Libatkan profesional dari industri sebagai dosen paruh waktu, dan manfaatkan pembelajaran daring agar distribusi dosen lebih merata.

4. Pengakuan Sosial

Bangun citra dosen sebagai profesi bergengsi. Media dan pemerintah bisa bantu dengan narasi positif, dosen itu keren atau narasi baik lainnya.

5. Reformasi Kampus

Berikan otonomi pada kampus dengan sistem pengawasan yang sehat. Kampus harus punya kemampuan mengelola SDM dan anggaran secara mandiri tapi bertanggung jawab.

Penutup

Menjadi dosen adalah panggilan jiwa yang mulia, tapi kalau dompet terus memanggil-manggil, idealisme bisa 'luntur'. Kalau kita ingin pendidikan tinggi yang unggul, kita harus mulai dari memperbaiki kondisi para dosennya.

Kalau tidak, bersiaplah menghadapi generasi yang diajar oleh algoritma, bukan akademisi. Karena mesin bisa memberi jawaban, tapi hanya dosen yang bisa memberi makna. Baca juga Kopi Pagi, Ijazah Palsu, dan Potensi Korupsi 'Terselubung'

Ingat: Dosen bukan hanya profesi, tapi fondasi peradaban. Jangan sampai mereka hanya tinggal dalam buku teks sejarah.