Sistem Pendidikan Indonesia: Mengapa Masih Belajar Demi Ujian?

BELAJARLAH yang rajin, nanti bisa jawab soal. Kalimat ini barangkali sudah jadi mantra abadi di ruang-ruang kelas kita. Tapi mari kita tanyakan ulang, apakah tujuan utama pendidikan hanya untuk menjawab soal pilihan ganda?

Setiap tahun, jutaan siswa di Indonesia berkutat dengan tumpukan materi yang harus dikuasai bukan demi memahami dunia, melainkan demi lulus ujian. Padahal, dunia nyata jarang sekali bertanya: “Apa rumus luas permukaan tabung?” atau “Siapa yang menandatangani Piagam Jakarta?”
Sistem Pendidikan Indonesia
Sistem pendidikan Indonesia selama puluhan tahun berkembang dalam bayang-bayang ujian nasional. Sekalipun Ujian Nasional (UN) sudah digantikan oleh Asesmen Nasional (AN), mindset yang tertanam belum banyak berubah, nilai akhir adalah segalanya.

Baca juga: Dosen: Antara Pengabdian, Penelitian, dan Pengencangan Ikat Pinggang  

Sekolah sering kali menjadi pabrik nilai, bukan taman tumbuhnya karakter dan kreativitas. Anak-anak belajar bukan karena ingin tahu, tapi karena takut nilai merah. Ironisnya, bahkan guru pun tak jarang “terpaksa” mengajar demi target kelulusan, bukan demi menumbuhkan daya pikir.

Pembelajaran yang terlalu berfokus pada capaian akademik, khususnya yang bisa diukur dengan angka, mengabaikan aspek-aspek penting lainnya seperti kreativitas, empati, kemampuan berpikir kritis, dan kecakapan hidup.

Dampak Sistem yang Ujian-Sentris

1. Rendahnya Kemampuan Berpikir Kritis

Hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam hal literasi membaca, matematika, dan sains. Artinya, banyak siswa Indonesia tidak mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam konteks nyata.

2. Kecemasan dan Tekanan Psikologis

Ujian seringkali menjadi sumber stres. Bahkan ada siswa yang depresi karena takut gagal. Padahal, pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menekan.

3. Minimnya Inovasi dan Kreativitas

Ketika semua orang hanya berfokus pada menjawab soal, maka kreativitas tidak punya ruang tumbuh. Tidak heran jika siswa cenderung pasif, menunggu instruksi, dan takut salah.

4. Ketimpangan Akses Pendidikan Berkualitas

Sekolah-sekolah di kota besar mungkin memiliki fasilitas, guru kompeten, dan bimbingan belajar. Tapi bagaimana dengan sekolah di pelosok yang bahkan tidak memiliki guru mata pelajaran lengkap?

Apakah Kita Salah Jalan?

Pendidikan seharusnya membekali siswa untuk hidup, bukan sekadar mengisi lembar jawaban. Namun sistem kita masih terlalu lama terjebak pada paradigma lama bahwa nilai = cermin kecerdasan.

Padahal, kecerdasan anak-anak Indonesia sangat beragam, ada yang jago menggambar, ada yang hebat di lapangan, ada yang mampu berpikir taktis, namun sering kali mereka semua dipojokkan karena "tidak bisa matematika".

Salah satu yang menyebabkan hal ini terjadi karena warisan sistem kolonial dan orde baru, dimana sistem pendidikan kita mewarisi pola top-down guru mengajar, siswa menerima. Ujian digunakan sebagai cara kontrol dan seleksi sosial.

Kemudian kurangnya pelatihan guru yang mendalam. Diakui ataupun tidak, banyak guru tidak memiliki akses terhadap pelatihan pengajaran aktif, pembelajaran berbasis proyek, atau pendekatan pembelajaran kontekstual.

Selanjutnya adalah ketidaksiapan kurikulum baru. Idealnya Kurikulum Merdeka sejatinya adalah langkah maju, tapi banyak sekolah belum siap menjalankannya secara utuh karena keterbatasan sumber daya dan pemahaman.

Sistem penilaian yang tidak holistik juga memberikan andil ini terjadi. Ujian tulis masih menjadi satu-satunya indikator utama keberhasilan siswa. Padahal, asesmen bisa dalam bentuk portofolio, proyek, observasi, dan presentasi.

Solusi Konkret yang Bisa Dilakukan

Jika kita ingin keluar dari jebakan "belajar demi ujian", maka perlu ada perombakan dalam banyak aspek. Tapi bukan perombakan revolusioner yang instan melainkan reformasi bertahap yang konsisten dan bermakna.

1. Reformasi Sistem Penilaian

Gunakan penilaian berbasis proyek, asesmen formatif, portofolio, dan penilaian teman sejawat.
Hilangkan dominasi angka sebagai satu-satunya ukuran.
Sertakan aspek sosial-emosional dalam penilaian: kerja sama, kepemimpinan, empati.

2. Pelatihan Guru Berbasis Konteks Nyata

Libatkan guru dalam pelatihan praktik langsung, bukan sekadar seminar.
Ciptakan komunitas belajar antarguru agar terjadi pertukaran ide dan metode.

3. Kurikulum yang Adaptif dan Kontekstual

Biarkan sekolah menyesuaikan pembelajaran dengan kondisi lokal.
Dorong pembelajaran lintas disiplin dan berbasis proyek.

4. Berdayakan Siswa untuk Aktif Bertanya dan Berpikir

Ajarkan siswa untuk mempertanyakan, bukan hanya menghafal.
Dorong kolaborasi, diskusi, dan eksplorasi.

5. Libatkan Orang Tua sebagai Mitra, Bukan Penonton

Ajak orang tua memahami bahwa nilai bukan segalanya.
Dorong partisipasi aktif dalam proyek sekolah dan kegiatan belajar anak.

6. Optimalkan Teknologi untuk Pembelajaran Bermakna

Gunakan video, simulasi, dan permainan edukatif untuk mendekatkan teori dengan praktik.
Bangun platform digital yang memungkinkan siswa belajar mandiri dan reflektif.

Kita tidak butuh generasi jenius yang hanya tahu menjawab soal. Kita butuh generasi pembelajar yang tahu cara bertanya, mencari tahu, dan memberi solusi. Belajar tidak seharusnya tentang ujian. Belajar seharusnya tentang menjadi manusia.

Manusia yang punya rasa ingin tahu, empati, kemampuan menyelesaikan masalah, dan siap hidup di dunia yang terus berubah. Jika sistem pendidikan Indonesia ingin relevan, maka ia harus mulai membebaskan diri dari kungkungan angka dan lembar soal. Ia harus berani kembali ke akar, mendidik manusia, bukan mesin penghafal.