Golput Bukan Solusi tapi Gejala Demokrasi sedang 'Demam'

SETIAP musim pemilu datang, selalu ada yang sibuk mencetak spanduk, memperbarui baliho, atau mendadak jadi “relawan militan”. Tapi di balik euforia itu, ada satu kelompok yang tak kalah ramai yaitu kaum golput yakni mereka yang memutuskan untuk tidak memilih, dengan berbagai alasan yang, kadang, lebih kompleks dari sinetron 1200 episode.

Tapi tunggu dulu. Apakah golput itu solusi? Atau jangan-jangan… gejala bahwa demokrasi kita sedang demam? 
Golput Bukan Solusi tapi Gejala Demokrasi sedang 'Demam'

Apa Sih Golput?

Secara sederhana Golput atau Golongan Putih dapat dipahamu bahwa mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya, baik dengan tidak datang ke TPS maupun membuat suaranya tidak sah. Kalau kamu punya pandangan lain apa itu golput, tulis di kolom komentar ya!!

Dulu, golput lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang represif. Sekarang? Alasannya bisa dari yang sangat ideologis sampai yang sangat...pragmatis:
  • “Gak ada yang bisa dipercaya.”
  • “Siapapun yang terpilih sama aja.”
  • “Lagi healing di Bali.”
  • “Males bangun pagi.”
Jadi, golput bisa karena kecewa, apatis, bingung, sibuk, atau memang ingin protes. Tapi yang perlu dipahami, golput bukan solusi? Karena meskipun kelihatan seperti sikap kritis dan “gue gak mau ikut-ikutan rusak”, pada kenyataannya...

Diam dalam demokrasi justru menguatkan suara yang paling keras, bukan yang paling waras.

Bayangkan kamu ada di kapal yang oleng. Terus kamu bilang, “Udah ah, gue diem aja, gak mau ikut milih kemudi.” Akibatnya? Kapal tetap jalan... tapi bukan ke arah yang kamu mau.

Golput Itu Gejala

Golput adalah tanda bahwa ada yang sakit dalam tubuh demokrasi. Ia bukan akar masalah, tapi reaksi dari sistem yang gagal membangun kepercayaan.

Baca Demokrasi adalah Sistem Pemerintahan Rakyat

Beberapa gejala yang biasa menyertai “demokrasi demam”:
  • Calon-calon itu-itu aja: Antara politisi daur ulang, mantan koruptor yang “sudah insaf”, atau seleb viral yang tiba-tiba nyaleg.
  • Janji kampanye yang basi: Dari kartu ini, program itu, semua manis di awal dan menghilang setelah pelantikan.
  • Minim ruang dialog: Kritik dianggap benci, oposisi dianggap musuh negara.
  • Politik uang masih merajalela: Suara dianggap bisa dibeli dengan selembar amplop atau nasi bungkus.
Golput, dalam konteks ini, adalah sinyal bahwa rakyat kecewa, bosan, dan muak. Dan itu sah. Tapi...

Kalau Golput Bukan Solusi, Lalu Apa?

Solusi sesungguhnya bukan dengan membalikkan badan dan pasrah, tapi dengan melawan lewat cara yang lebih aktif dan sadar.

1. Pilih yang terbaik dari yang tersedia.

Kadang kita harus realistis. Kalau tak ada yang sempurna, cari yang paling bisa dipercaya dan paling sedikit mudaratnya.

2. Terlibat dalam pendidikan politik.

Bikin diskusi, jadi relawan pemilu, atau minimal ngajak teman-teman nonton debat capres sambil nyemil, itu pun bagian dari usaha.

3. Dorong tokoh alternatif.

Jangan tunggu pemimpin dari langit. Ajak orang baik di sekitarmu untuk berani maju.

4. Awasi jalannya pemerintahan.

Setelah pemilu, jangan diam. Ikut mengkritisi, memantau, dan memberikan masukan — lewat media sosial, petisi, atau forum warga.

Golput Bisa Merugikan?

  • Membuat partisipasi pemilu rendah, sehingga hasil pemilu kehilangan legitimasi moral.
  • Membiarkan kelompok pragmatis mendominasi suara, karena yang idealis malah menarik diri.
  • Tidak menekan partai politik untuk berbenah, karena mereka tahu: walau banyak yang kecewa, tetap akan ada yang memilih... atau golput.

Menurut data KPU, lebih dari 50% pemilih adalah anak muda. Tapi di sisi lain, tren golput justru banyak dari kalangan muda. Kenapa?

Padahal, masa depan demokrasi justru di tangan mereka. Jangan sampai, ketika negara ini diatur oleh "orang-orang tua yang dulu kita cuekin", kita cuma bisa bilang, “Iya sih, salah kita juga.”

Kalau pemilu seperti warteg, golput itu kayak kamu yang sedang lapar masuk ke warung, lihat menunya gak ada yang enak, terus keluar... tapi lapar juga. Kenyangnya tidak dapat, menunya tidak berubah, dan kamu tetap jadi korban.

Suara Minoritas Tetap Penting

Dalam demokrasi, satu suara bisa jadi penentu. Dalam sejarah Indonesia, ada pemilu-pemilu di mana selisih suara sangat tipis, terutama pada pemilihan. Jadi, kalau kamu berpikir bahwa “suara saya gak ngaruh” itu seperti bilang “ngisi air setetes gak bakal penuh embernya”. Kalau semua mikir begitu, ya embornya kering.

Demokrasi perlu dirawat, bukan diabaikan. Demokrasi bukan sistem yang sempurna, tapi sampai hari ini, ia masih yang paling memungkinkan untuk memperjuangkan keadilan dan partisipasi.

Golput adalah sinyal. Tapi jangan berhenti di sinyal. Ubah itu jadi gerakan yang sadar dan solutif.