Dari podium itulah, lima prinsip dasar negara kita lahir. Lima sila yang katanya dan seharusnya menjadi dasar berpikir, bersikap, dan bertindak seluruh anak bangsa. Tapi, mari kita jujur: masihkah bara api semangat itu menyala, atau justru tinggal abu yang dipegang demi formalitas upacara?
Pancasila bukan sekadar hafalan anak SD:
Meski begitu, jangan salah. Pancasila masih menjadi pondasi bernegara yang kokoh. Di tengah gempuran isu intoleransi, radikalisme, hoaks politik, dan budaya saling mencaci di media sosial, Pancasila adalah jangkar yang menahan Indonesia dari karam.
Sila ketiga misalnya, Persatuan Indonesia. Bayangkan negara dengan lebih dari 17.000 pulau, ratusan etnis, dan berbagai agama ini masih bisa berdiri dalam satu bendera. Kalau bukan karena Pancasila, mungkin kita sudah bubar sejak era ganti presiden.
Pancasila bukan hanya simbol. Ia adalah sistem nilai yang hidup, atau seharusnya hidup, dalam diri kita. Sayangnya, nilai-nilainya sering kali tinggal nilai, tak jarang kalah oleh egoisme golongan, ambisi politik, dan mentalitas korup yang kadang luar biasa canggihnya.
Apa Sih Makna Hari Lahir Pancasila?
Hari Lahir Pancasila bukan sekadar upacara, bukan pula lomba-lomba antar-kecamatan dengan tema nasionalisme murahan yang berakhir hanya dengan konsumsi mie bungkus dan tumpeng dingin. Hari ini adalah pengingat akan lahirnya nilai-nilai luhur yang menyatukan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.Pancasila bukan sekadar hafalan anak SD:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Meski begitu, jangan salah. Pancasila masih menjadi pondasi bernegara yang kokoh. Di tengah gempuran isu intoleransi, radikalisme, hoaks politik, dan budaya saling mencaci di media sosial, Pancasila adalah jangkar yang menahan Indonesia dari karam.
Sila ketiga misalnya, Persatuan Indonesia. Bayangkan negara dengan lebih dari 17.000 pulau, ratusan etnis, dan berbagai agama ini masih bisa berdiri dalam satu bendera. Kalau bukan karena Pancasila, mungkin kita sudah bubar sejak era ganti presiden.
Pancasila bukan hanya simbol. Ia adalah sistem nilai yang hidup, atau seharusnya hidup, dalam diri kita. Sayangnya, nilai-nilainya sering kali tinggal nilai, tak jarang kalah oleh egoisme golongan, ambisi politik, dan mentalitas korup yang kadang luar biasa canggihnya.
Harapan vs Realita
Mari kita renungkan sejenak. Apakah sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" tercermin saat orang miskin sakit harus antre berjam-jam demi BPJS yang bahkan belum tentu cukup? Apakah "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" terasa saat gaji buruh naik Rp 25.000, sementara koruptor bisa jalan-jalan ke luar negeri?Pancasila kerap dijadikan tameng moral oleh oknum yang paling sering melanggarnya. Bicara keras soal nasionalisme, tapi bisnisnya numpang nama di luar negeri. Teriak soal keadilan, tapi rekeningnya menggelembung dari proyek fiktif.
Yang lebih menyakitkan? Pancasila sudah terlalu sering dijadikan alat propaganda. Ia dikutip saat kampanye, dimanipulasi saat konflik, dan dijadikan alasan membungkam suara berbeda padahal nilai-nilai dasarnya justru menjunjung musyawarah, persatuan, dan hak asasi.
Pancasila Bukan Barang Museum
Pancasila itu bukan 'fosil' sejarah yang harus dipajang tiap 1 Juni lalu dikunci rapat-rapat. Ia adalah panduan hidup yang fleksibel dan dinamis, relevan dari zaman Soekarno sampai era TikTok sekarang.Di tengah gempuran globalisasi, Pancasila menjadi pagar agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri. Ia bukan anti-modern, tapi justru bisa menjadi kompas moral di era digital, saat berita bohong lebih cepat dari cahaya, saat perdebatan lebih panas dari data.
Tapi tentu, itu semua hanya mungkin kalau Pancasila dihidupkan, bukan hanya di mulut tapi juga di tindakan. Kita bisa mulai dari hal kecil seperti:
- Menolak korupsi meski tidak ada yang mengawasi.
- Tidak menyebar hoaks walau klik-nya banyak.
- Menjaga toleransi walau berbeda pandangan.
- Mengutamakan dialog ketimbang saling memaki.
Hari Lahir Pancasila: Momen Refleksi, Bukan Sekadar Upacara
Hari Lahir Pancasila seharusnya jadi momen refleksi nasional. Sudahkah kita benar-benar menjadikan Pancasila sebagai pedoman? Atau masih menjadikannya hiasan dinding dan bahan pidato formal belaka?Mungkin sudah waktunya kita berhenti berpura-pura. Pancasila tidak butuh pembela yang hanya rajin upacara. Ia butuh pengamal sejati, dari pejabat sampai rakyat biasa. Dari yang duduk di gedung DPR sampai tukang bakso di pinggir jalan.
Karena sejatinya, Pancasila tidak butuh dikultuskan, tapi dijalankan.
Menyalakan Bara Kembali
Kalau hari ini kamu membaca tulisan ini dan merasa bahwa Pancasila masih sekadar hafalan, itu tidak apa-apa. Setiap kesadaran besar bermula dari kejujuran kecil.Mari kita nyalakan kembali bara itu, perlahan tapi pasti. Jadikan Pancasila bukan hanya warisan sejarah, tapi roh kehidupan berbangsa. Bukan sekadar simbol negara, tapi napas kita dalam berinteraksi, bersikap, dan bermasyarakat.
Mulailah dari diri sendiri. Jangan menunggu perubahan dari atas. Sebab, seperti kata orang bijak, jika kamu ingin melihat perubahan, maka jadilah bagian dari perubahan itu.
Sebuah Ajakan Kecil
Pada Hari Lahir Pancasila ini, mari kita bertanya:- Apakah kita masih percaya pada nilai-nilainya?
- Ataukah kita sudah terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, dan membiarkan Pancasila menjadi jargon kosong?
Selamat Hari Lahir Pancasila.
Semoga api itu belum benar-benar padam.
Kalau kamu setuju tulisan ini menggugah, jangan ragu untuk membagikannya. Biar bukan hanya kamu yang ingat Pancasila tapi kita semua.