Contoh Ketidakadilan Gender di Indonesia: Realita, Akar Masalah, dan Jalan Keluar

KETIDAKADILAN gender bukan sekadar perdebatan tentang siapa yang lebih kuat, lebih dominan, atau lebih pantas memimpin. Isu ini jauh melampaui stereotip fisik dan peran tradisional. Ketika seseorang terus-menerus ditempatkan dalam posisi yang kurang menguntungkan hanya karena jenis kelaminnya, maka kita sedang berbicara tentang sebuah sistem yang bekerja secara sistemik dan sering kali tidak disadari.

Dalam dunia kerja, pendidikan, bahkan dalam lingkup keluarga, ketimpangan ini berulang dengan pola yang hampir tak berubah.
Contoh Ketidakadilan Gender di Indonesia
Fenomena ini tidak selalu muncul dalam bentuk kasar atau terang-terangan. Ia bisa hadir dalam bentuk komentar ringan yang dianggap lucu, aturan yang tampak netral tapi berdampak tidak adil, atau ekspektasi sosial yang membatasi pilihan hidup seseorang.

Misalnya, perempuan yang memilih tidak menikah dianggap aneh, sementara laki-laki yang memilih menjadi pengasuh anak dianggap tidak maskulin. Padahal, keduanya hanya sedang menjalani hidup sesuai pilihan masing-masing.

Baca juga: Refleksi Satir tentang Peran Gender dan Keadilan Rumah Tangga dalam Islam  

Dalam artikel ini, kita akan menggali secara mendalam contoh-contoh nyata ketidakadilan gender yang masih sering terjadi di Indonesia. Mulai dari diskriminasi di dunia pendidikan, dunia kerja, hingga bagaimana hukum dan politik masih sering menempatkan perempuan (dan kadang juga laki-laki) dalam posisi yang tidak setara.

Kita juga akan menelusuri bagaimana akar masalah ini terbentuk, serta mengapa penyelesaiannya tidak cukup hanya dengan mengubah cara berpikir individu, melainkan perlu perubahan sistem yang lebih luas.

Semua pembahasan ini akan disampaikan dengan gaya yang santai namun tetap serius, agar mudah dipahami oleh siapa pun—baik akademisi, mahasiswa, ibu rumah tangga, maupun pekerja kantoran.

Tak hanya itu, kita juga akan menyoroti bagaimana keadilan gender semestinya dijalankan, termasuk dari sudut pandang agama yang sering disalahpahami. Sebab, membicarakan keadilan gender bukan hanya soal perempuan atau laki-laki, melainkan tentang menciptakan ruang hidup yang lebih adil bagi semua.

Apa Itu Ketidakadilan Gender?

Ketidakadilan gender adalah kondisi ketika seseorang diperlakukan berbeda, dirugikan, atau dihambat hak dan potensinya hanya karena jenis kelaminnya. Ini bukan sekadar peristiwa sepele atau persoalan personal, tapi bagian dari pola sosial yang terus berulang dan menancap dalam kehidupan sehari-hari. 

Ketidakadilan ini bisa terjadi di mana saja: di rumah yang dianggap sebagai ruang aman, di sekolah tempat anak belajar menjadi manusia dewasa, di kantor yang seharusnya jadi ruang aktualisasi, bahkan di tempat ibadah yang idealnya penuh kasih dan kesetaraan.

Diskriminasi gender adalah salah satu bentuk paling nyata dari ketidakadilan ini. Ia mencakup segala bentuk perlakuan tidak adil terhadap individu berdasarkan identitas gender mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun kelompok non-biner. 

Bentuknya bisa berupa pengabaian, pengucilan, pembatasan peran, pelabelan negatif, hingga kekerasan verbal atau fisik. Bahkan, ketika diskriminasi itu dibungkus dalam candaan atau adat, dampaknya tetap riil dan dalam jangka panjang bisa menghancurkan rasa percaya diri dan kesempatan hidup seseorang.

Contohnya banyak dan sering kali terjadi tanpa disadari. Seorang perempuan yang memiliki kompetensi memimpin proyek, ditolak hanya karena dianggap terlalu emosional atau akan sibuk jika nanti menikah. 

Di sisi lain, laki-laki yang memilih menjadi guru taman kanak-kanak justru ditertawakan karena dinilai tidak sesuai dengan “kodratnya”. Inilah bentuk-bentuk kecil yang membentuk sistem besar: gender dijadikan patokan nilai, bukan kapabilitas.

Ketidakadilan gender bukan soal menyalahkan satu kelompok atas kelompok lainnya. Ini soal menyadari bahwa ada sistem dan budaya yang perlu kita koreksi bersama. Ketika kita membiarkan satu jenis kelamin dipinggirkan atas dasar konstruksi sosial yang usang, maka kita kehilangan potensi besar dari setengah populasi manusia.

Maka, memahami definisi dan bentuk diskriminasi gender adalah langkah awal untuk menyadari, berpihak, dan bertindak demi perubahan yang lebih adil bagi semua.

Contoh Ketidakadilan Gender di Berbagai Bidang

Ketidakadilan gender bukan hanya cerita di seminar atau diskusi akademik. Ia hidup dan bernapas dalam kehidupan sehari-hari—menyelinap lewat kebijakan, budaya, dan kebiasaan yang terlihat “biasa saja”. Berikut ini beberapa contoh nyata di berbagai bidang kehidupan yang mencerminkan bagaimana ketidakadilan gender terus terjadi di sekitar kita:

1. Dunia Pendidikan

Pendidikan seharusnya menjadi alat utama untuk membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan ketimpangan. Namun sayangnya, sistem pendidikan kita masih memelihara bias gender dalam berbagai bentuk.

Anak perempuan di banyak daerah, khususnya di wilayah terpencil, masih sering dilarang bersekolah karena dianggap tugas utamanya adalah membantu di dapur atau menikah muda. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan membangun masa depan yang lebih mandiri.

Tak hanya perempuan yang jadi korban. Anak laki-laki juga kerap mengalami tekanan untuk masuk jurusan teknik, sains, atau bidang “maskulin”, walau sebenarnya mereka tertarik pada seni, sastra, atau bidang kreatif lainnya. Lingkungan sekolah dan keluarga tanpa sadar mendorong anak-anak untuk mengejar harapan sosial, bukan minat pribadinya.

Parahnya lagi, kurikulum pendidikan di Indonesia masih sangat minim membahas isu seksualitas, gender, dan relasi sehat. Tanpa pendidikan gender yang inklusif, maka stereotip dan ketimpangan akan terus diwariskan dari guru ke murid, dari generasi ke generasi.
Data BPS tahun 2023 mencatat bahwa rata-rata lama sekolah perempuan di daerah tertinggal lebih rendah 1,8 tahun dibanding laki-laki.

2. Dunia Kerja

Ketika perempuan akhirnya berhasil menembus dunia kerja, mereka masih harus menghadapi tantangan ganda yang melelahkan. Salah satunya adalah ketimpangan upah. Banyak data menunjukkan bahwa perempuan masih menerima gaji lebih rendah dibanding rekan laki-lakinya, meski memiliki posisi dan tanggung jawab yang sama. 

Ini bukan sekadar ketidaksengajaan, melainkan cerminan sistem yang menganggap kerja perempuan kurang “bernilai”.

Selain itu, banyak perempuan mengalami double burden—bekerja di luar rumah sepanjang hari, lalu pulang dan dihadapkan pada ekspektasi sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Beban ini jarang dibagikan secara adil dengan pasangan, dan ironisnya, dianggap hal yang wajar.

Tak berhenti di situ, representasi perempuan dalam posisi strategis—seperti manajer, direktur, atau eksekutif puncak—masih sangat rendah. Bukan karena mereka tidak kompeten, tapi karena sistem rekrutmen dan promosi sering bias terhadap laki-laki.

3. Bidang Hukum dan Politik

Hukum yang seharusnya menjadi pelindung semua warga negara tanpa diskriminasi, justru sering kali tidak ramah terhadap perempuan dan kelompok rentan. Korban kekerasan seksual misalnya, masih sering disalahkan atas apa yang mereka alami—dari cara berpakaian hingga sikap sehari-hari—alih-alih dilindungi dan diberi ruang aman untuk melapor.

Minimnya representasi perempuan di parlemen dan lembaga pengambil keputusan menyebabkan banyak kebijakan yang lahir tidak mempertimbangkan kebutuhan dan perspektif perempuan. Kebijakan tentang cuti melahirkan, perlindungan pekerja perempuan, hingga pendidikan reproduksi sering kali dianggap isu “tambahan”, bukan prioritas.

Bahkan ketika kasus kekerasan berbasis gender masuk ke ranah hukum, prosesnya kerap panjang, berbelit, dan melelahkan. Banyak korban akhirnya memilih diam atau mencabut laporan karena tidak tahan dengan tekanan sosial dan proses yang tidak berpihak.

4. Keluarga dan Kehidupan Pribadi

Ketidakadilan gender juga tumbuh subur dalam lingkungan terkecil dan paling dekat dengan kita: keluarga. Sejak kecil, anak perempuan sering diberi tanggung jawab rumah tangga lebih banyak daripada anak laki-laki. Sementara itu, anak laki-laki dibiarkan bermain atau malah dilarang melakukan pekerjaan rumah karena dianggap “bukan tugas laki-laki”.

Tak hanya soal pekerjaan rumah, ekspresi emosi pun ikut dibatasi berdasarkan gender. Anak laki-laki dilarang menangis atau mengeluh, karena dianggap harus selalu kuat dan tangguh. Ini menciptakan tekanan psikologis yang besar dan membuat laki-laki kesulitan membangun relasi yang sehat dengan emosi mereka sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah masih tingginya praktik child marriage atau pernikahan anak, terutama terhadap anak perempuan. Pernikahan dini bukan hanya memutus akses pendidikan, tetapi juga membuka pintu pada kekerasan dalam rumah tangga, kehamilan berisiko tinggi, dan siklus kemiskinan yang berkelanjutan.
UNICEF mencatat bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. www.unicef.org
Melalui contoh-contoh di atas, kita bisa melihat betapa ketidakadilan gender merayap di hampir setiap aspek kehidupan. Ini bukan hanya soal hak perempuan, tapi juga tentang bagaimana sistem yang timpang menciptakan kerugian kolektif bagi seluruh masyarakat. 

Langkah pertama untuk mengubahnya adalah dengan menyadari bahwa masalah ini nyata—dan kita semua punya peran dalam menyelesaikannya.

Antara Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam dan Keadilan

Isu ketidakadilan gender sering kali dikaitkan—atau bahkan dibenarkan—atas nama ajaran agama, khususnya dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, penting untuk diluruskan bahwa Islam tidak pernah menganjurkan diskriminasi atas dasar gender. Justru, dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadis, ditegaskan prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan Tuhan.

Islam Tidak Pernah Menganjurkan Diskriminasi

Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai makhluk spiritual yang setara di hadapan Allah. Keduanya memiliki potensi yang sama dalam hal keimanan, amal saleh, dan tanggung jawab sosial. Al-Qur’an sendiri dengan jelas menyatakan bahwa jenis kelamin bukanlah penghalang untuk mendapatkan pahala atau kemuliaan.
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka mereka masuk surga dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” – QS. An-Nisa: 124

Ayat ini menjadi salah satu bukti kuat bahwa Islam mempromosikan keadilan dan kesetaraan substantif. Islam tidak membatasi perempuan dalam kontribusinya terhadap masyarakat, baik dalam pendidikan, ekonomi, bahkan kepemimpinan—selama dijalankan dengan tanggung jawab dan niat yang baik.

Misinterpretasi yang Berulang

Masalah utama bukan pada ajaran agama itu sendiri, tetapi pada penafsiran dan praktik sosial yang berkembang di masyarakat. Misalnya, ayat tentang "kepemimpinan laki-laki" (QS. An-Nisa: 34) sering digunakan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin atau berkarier di luar rumah.

Padahal, ayat tersebut berbicara dalam konteks keluarga dan ekonomi saat itu, yang tentu memerlukan pembacaan kontekstual dan kritis.

Banyak ulama kontemporer juga menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara tekstual semata, apalagi jika digunakan untuk melegitimasi ketimpangan. Sayangnya, penafsiran yang bias gender masih cukup dominan dalam banyak forum keagamaan, yang akhirnya memperkuat stereotip dan memperlebar jurang ketidakadilan.

Akar Permasalahan Ketidakadilan Gender

Untuk memahami kenapa ketidakadilan gender terus terjadi, kita perlu melihat lebih dalam pada akar struktural dan kultural yang menyuburkannya. Ketimpangan ini bukan muncul dalam semalam, tetapi hasil dari sistem sosial yang dibentuk selama ratusan tahun.

Budaya Patriarki yang Telah Lama Mengakar

Budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama dalam hampir semua aspek kehidupan—baik di rumah, tempat kerja, hingga lembaga politik dan keagamaan. Ini menciptakan hierarki sosial yang meminggirkan perempuan secara sistemik, sering kali tanpa disadari oleh pelakunya sendiri.

Stereotip Gender yang Diwariskan Tanpa Kritis

Sejak kecil, anak-anak dibentuk oleh label seperti “anak laki-laki harus kuat” atau “anak perempuan harus sopan dan pendiam.” Stereotip ini tertanam dalam kurikulum pendidikan, media, dan interaksi sehari-hari. Padahal, peran dan karakter bukanlah warisan biologis, melainkan hasil dari konstruksi sosial.

Kurangnya Pendidikan Gender di Sekolah

Salah satu akar yang paling sering diabaikan adalah minimnya edukasi tentang gender dan kesetaraan di sekolah. Banyak guru yang bahkan masih memperkuat bias gender lewat cara mengajar atau cara membagi peran dalam kegiatan kelas. Tanpa edukasi kritis sejak dini, generasi muda akan terus mewarisi pola pikir lama yang diskriminatif.

Minimnya Pemimpin dan Tokoh Panutan Perempuan

Ketika ruang publik didominasi laki-laki, wajar jika suara perempuan tenggelam. Minimnya figur perempuan dalam posisi strategis menyebabkan kurangnya representasi pengalaman dan perspektif perempuan dalam kebijakan, media, dan pendidikan. Padahal, kehadiran panutan perempuan sangat penting untuk menginspirasi generasi berikutnya agar percaya bahwa mereka bisa.

Ketimpangan Akses terhadap Sumber Daya dan Informasi

Akses terhadap pendidikan, informasi, layanan kesehatan, dan sumber daya ekonomi masih sangat timpang antara laki-laki dan perempuan—terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Ketimpangan ini memperparah siklus ketidakadilan dan membuat perempuan makin tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan.


Akar-akar masalah ini saling terkait dan membentuk ekosistem yang kokoh. Itulah mengapa solusi terhadap ketidakadilan gender tidak bisa bersifat tambal-sulam. Dibutuhkan pendekatan menyeluruh: reformasi kebijakan, pendidikan yang lebih progresif, pemberdayaan perempuan, serta narasi publik yang lebih inklusif dan empatik. Dan yang terpenting, kita semua—laki-laki maupun perempuan—punya peran dalam memperjuangkannya.

Upaya Menuju Keadilan Gender di Indonesia

Ketidakadilan gender memang bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan semangat doang atau quote inspiratif di Instagram. Dibutuhkan kerja serius dari berbagai sektor—pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, hingga individu.

Tapi jangan pesimis dulu, karena di balik segala tantangan, berbagai upaya menuju keadilan gender di Indonesia sudah mulai menunjukkan titik terang. Berikut beberapa langkah penting yang tengah dan harus terus didorong.

1. Pendidikan Inklusif dan Sensitif Gender

Kalau mau perubahan jangka panjang, mulailah dari pendidikan. Anak-anak adalah benih masa depan. Jadi, kalau dari kecil sudah diajari bahwa laki-laki dan perempuan setara, besar kemungkinan mereka tumbuh dengan mindset yang lebih adil.

Beberapa langkah konkret:
  • Memasukkan kurikulum kesetaraan gender dalam pelajaran sejak usia dini, bukan cuma di mata pelajaran “PKN”, tapi juga dalam keseharian di kelas.
  • Pelatihan guru dan dosen agar paham pentingnya menghindari stereotip, seperti "anak laki-laki angkat meja, perempuan hias kelas".
  • Mengedukasi orang tua, karena rumah adalah tempat pertama di mana bias gender biasanya terbentuk. Peran ibu dan ayah sangat besar dalam menanamkan nilai kesetaraan.
Pendidikan seperti ini tidak hanya menyelamatkan perempuan dari diskriminasi, tapi juga menyelamatkan laki-laki dari beban stereotip yang tidak manusiawi.
 

2. Reformasi Hukum dan Perlindungan Perempuan

Punya UU tanpa implementasi itu seperti punya payung bocor—ada, tapi tetap basah. Salah satu kemajuan penting adalah hadirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tapi masih banyak pekerjaan rumah.

Beberapa langkah penting:
  • UU TPKS harus diterapkan tegas, terutama oleh aparat hukum dan pengadilan, agar korban tidak lagi menjadi pihak yang dipersulit.
  • Perlindungan hukum komprehensif untuk korban kekerasan berbasis gender, termasuk layanan pendampingan psikologis dan hukum yang ramah dan cepat tanggap.
  • Sanksi jelas terhadap institusi (baik sekolah, tempat kerja, maupun lembaga negara) yang membiarkan praktik diskriminatif berlangsung.
Perempuan berhak merasa aman di ruang publik, dan itu bukan permintaan berlebihan—itu hak dasar sebagai manusia.
 

3. Partisipasi Perempuan dalam Kepemimpinan

Keadilan gender juga soal siapa yang duduk di kursi pengambil keputusan. Karena selama kebijakan dibuat tanpa perspektif perempuan, hasilnya sering tidak menjawab kebutuhan nyata mereka. Misalnya, mengapa fasilitas publik sering lupa menyediakan ruang laktasi? Atau kenapa cuti haid masih dianggap “manja”?

Untuk itu, dibutuhkan:
  • Mendorong kuota 30% perempuan di legislatif dan jabatan strategis. Bukan karena perempuan "perlu dikasihani", tapi karena demokrasi butuh suara dari semua kelompok.
  • Program mentoring dan pelatihan kepemimpinan untuk perempuan muda, agar lebih percaya diri dan siap bersaing secara sehat.
  • Penciptaan tempat kerja yang inklusif, dengan menyediakan cuti haid, ruang laktasi, hingga fleksibilitas kerja yang memperhatikan peran ganda perempuan.
Baca juga: Demokrasi adalah Sistem Pemerintahan Rakyat: Definisi dan Prinsipnya

Masalah gender bukan cuma soal perempuan yang jadi korban. Kadang, laki-laki juga terjebak dalam kotak stereotip yang sempit. Salah satu contohnya dialami oleh seorang teman saya, Arman.
Arman memilih menjadi perawat di klinik anak, profesi yang ia cintai karena merasa terpanggil membantu anak-anak sakit dengan kasih sayang. Tapi saat reuni kampus, seseorang nyeletuk:
“Kok nggak ambil jurusan teknik sih? Kurang jantan kali!”

Komentar ini mungkin terdengar sepele, bahkan mengundang tawa, tapi sesungguhnya menyakitkan. Seolah-olah empati dan kasih sayang bukanlah kualitas yang pantas dimiliki laki-laki. Padahal, pasien-pasiennya memujinya karena perhatian dan ketelatenannya.

Kasus Arman menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa jadi korban diskriminasi berbasis gender, terutama ketika mereka keluar dari jalur “maskulinitas tradisional.” Maka dari itu, perjuangan keadilan gender bukan cuma agenda perempuan, melainkan perjuangan kita semua untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi.

Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)

1. Apa contoh ketidakadilan gender yang paling umum di Indonesia?

Gaji tidak setara, beban ganda pada perempuan, dan rendahnya representasi perempuan dalam politik.
 

2. Diskriminasi gender itu selalu merugikan perempuan?

Tidak selalu. Laki-laki juga bisa jadi korban, misalnya saat memilih profesi yang dianggap “tidak maskulin.”
 

3. Apa bedanya kesetaraan gender dan keadilan gender?

Kesetaraan = memperlakukan sama. Keadilan = memberi sesuai kebutuhan dan kondisi. Dua-duanya penting.
 

4. Bagaimana cara sederhana mendorong keadilan gender?

Mulai dari rumah: bagi tugas secara adil, ajarkan anak berpikir setara, dan hindari stereotip.
 

5. Apakah agama mendukung keadilan gender?

Ya. Misalnya dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan dijamin hak dan kewajibannya secara seimbang.

Kesimpulan

Ketidakadilan gender bukan sekadar wacana akademik. Ini nyata, hidup berdampingan dengan kita setiap hari. Tapi kabar baiknya: perubahan bisa dimulai dari langkah kecil, dari rumah, dari tempat kerja, bahkan dari tulisan ini.

Sudah pernah mengalami atau melihat ketidakadilan gender? Tulis di kolom komentar dan mari berdiskusi. Jangan lupa bagikan artikel ini agar makin banyak yang tercerahkan.