4 Pulau di Aceh Singkil yang Kembali Menyatukan dan Membangkitkan Solidaritas Kita

KISRUH penetapan empat pulau di wilayah Aceh Singkil ke Sumatera Utara oleh pemerintah pusat sempat mengejutkan banyak orang. Bahkan, banyak yang merasa seperti tertampar saat bangun tidur bukan karena mimpi buruk, tapi karena realita yang lebih pahit dari kopi Gayo tanpa gula. Tapi, di tengah gemuruh rasa kecewa dan marah, ada sesuatu yang diam-diam tumbuh dan mekar di hati orang Aceh kebersamaan yang kembali hidup.

Ya, mungkin 4 pulau di Aceh Singkil yang secara administratif saat ini masih diperdebatkan, tapi yang kita dapatkan lebih besar, kesadaran kolektif, semangat solidaritas, dan kekompakan lintas golongan yang sebelumnya jarang kita lihat dalam skala sebesar ini.
4 Pulau di Aceh Singkil yang Kembali Menyatukan
Sebelum kekisruhan ini mencuat, jujur saja, banyak dari kita sibuk dengan urusan masing-masing. Politisi sendiri-sendiri, rakyat apatis, aktivis kadang dicibir, dan pemerintah daerah dituduh lamban. Tapi siapa sangka, ketika keputusan pusat menetapkan 4 pulau di Aceh Singkil yang secara sejarah, budaya, dan aktivitas sosial jelas merupakan bagian dari Aceh justru "dipindahkan" ke Sumut, gelombang kebersamaan itu kembali menggelegar.

Senator DPD RI, anggota DPR RI dari Dapil Aceh, DPRA, tokoh adat, aktivis, hingga masyarakat biasa mulai satu suara. Tidak ada lagi sekat partai politik, tidak ada lagi warna bendera yang memisahkan. Semua menyuarakan satu hal, Pulau itu milik kita. Kita harus bersatu.

Solidaritas yang Tumbuh dari Krisis

Mungkin ini yang dinamakan berkah dalam bencana. Karena empat pulau itu pula, kita jadi sadar bahwa:
  • Kita bisa bersatu jika ada yang mengancam harga diri kita.
  • Politik tidak harus selalu memecah belah—justru bisa menyatukan, kalau orientasinya untuk rakyat.
  • Masyarakat sipil punya kekuatan besar ketika bersuara bersama.
Dulu kita mungkin terbelah oleh pemilu, oleh isu nasional, oleh perbedaan pilihan. Tapi sekarang, suara itu menyatu menggema dari Singkil hingga Jakarta. Kita melihat bagaimana Anggota DPR RI, Anggota DPD RI dari Dapil Aceh, dan banyak tokoh lainnya tampil bukan sebagai politisi partai, tapi sebagai wakil rakyat Aceh.

Dan rakyat pun tak kalah lantang. Di media sosial, meme-meme bermunculan. Diskusi-diskusi kampus mulai menggali peta lama. Bahkan, di warung kopi, pembicaraan bukan lagi soal-soal yang selama ini jadi perdebatan panjang, tapi soal bagaimana cara mengembalikan pulau kita dan menjaga marwah Aceh.

Merawat Solidaritas Ini ke Depan

Tapi tentu kita tak boleh berhenti di sini. Kekompakan ini adalah momentum. Dan momentum tidak akan berguna jika tidak dijaga. Berikut beberapa strategi yang bisa kita upayakan bersama agar solidaritas ini tidak layu sebelum berkembang:

1. Bangun Forum Komunikasi Rakyat Aceh

Sebuah platform lintas tokoh, lintas generasi, lintas profesi yang fokus untuk menyuarakan isu-isu strategis Aceh. Bukan hanya soal tapal batas, tapi juga pendidikan, ekonomi, budaya, dan keadilan sosial.

2. Konsolidasi Lintas Lembaga dan Daerah

Kita perlu menghubungkan DPRK, DPRA, DPD, dan DPR RI dari Aceh dalam satu gerak koordinatif. Jangan jalan sendiri-sendiri. Dengan komunikasi yang solid, kita bisa menyusun strategi jangka panjang.

3. Gerakan Edukasi dan Kesadaran Publik

Buat konten digital, seminar kampus, podcast, bahkan pertunjukan seni yang membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat. Solidaritas harus ditopang oleh pemahaman, bukan hanya semangat sesaat.

4. Jaga Semangat, Hindari Provokasi

Jangan terjebak pada isu SARA atau sentimen sempit yang bisa memecah belah. Kita perlu marah, tapi marah yang cerdas. Marah yang strategis. Marah yang berujung pada perubahan.

Selain tumbuhnya solidaritas dan kebersamaan, ada beberapa efek positif lain yang pantas kita rayakan:

1. Rakyat Makin Sadar Politik

Kita belajar bahwa urusan administrasi bukan hal kecil. Bahwa wilayah bukan cuma soal peta, tapi soal identitas dan kedaulatan. Masyarakat jadi makin peka dan ingin terlibat dalam pengambilan keputusan.

2. Elit Daerah Mulai Menyatu

Kita melihat langsung bagaimana tokoh-tokoh yang biasanya punya perbedaan visi dan jalur politik, kini menyatu dalam satu suara. Ini adalah modal sosial yang sangat mahal.

3. Generasi Muda Mulai Bangkit

Diskusi tentang batas wilayah kini jadi bahan diskusi hangat di kampus dan warung kopi. Ini pertanda baik, anak muda kita peduli, dan rasa memiliki mereka mulai tumbuh.

Kita Bisa, Kalau Kita Bersama
Pulau bisa saja dipetakan ulang oleh garis koordinat, tapi identitas dan kehormatan tidak bisa digeser seenaknya. Yang membuat Aceh tetap kuat adalah semangat warganya. Dan kini, semangat itu telah kembali.

Kita tidak sedang meratap. Kita sedang bangkit. Kita tidak sedang menyalahkan, kita sedang menyatukan. Jangan biarkan semangat ini padam hanya karena isu ini tenggelam di berita lain minggu depan. Rawat solidaritas ini seperti kita merawat pohon tua di tengah kampung dengan sabar, dengan cinta, dan dengan rasa hormat.

Siapa sangka, kekisruhan 4 pulau di Aceh Singkil justru membuat kita kembali menemukan jati diri kita sebagai orang Aceh. Yang tak mudah ditindas. Yang tak bisa diabaikan. Yang kalau bersatu, bisa membuat dunia mendengar.