Politik Zaman Now, Generasi Z Pilih Arah yang Berbeda?

JIKA Anda lahir di era saat telfon genggam masih sebesar batu bata dan koneksi internet butuh waktu satu semester untuk membuka satu halaman, Anda pasti heran melihat generasi sekarang yang bisa membuat petisi politik sambil rebahan. Tapi lucunya, walau punya semua teknologi dan akses informasi, Generasi Z justru sering dicap apatis terhadap politik.
Politik Zaman Now, Generasi Z Pilih Arah yang Berbeda
Sebagai anggota Bawaslu Bireuen, saya mendengar ini cukup sering. Katanya, "Anak muda sekarang lebih peduli skin game daripada skenario demokrasi." Lucu? Iya. Tapi juga membuat kita berpikir kenapa bisa begitu?

Gen Z adalah mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Artinya, saat Pilpres pertama kali disiarkan di TV secara live, mereka masih sibuk belajar mengeja "demokrasi" di buku cetak. Kini, mereka adalah pemilih pemula, mahasiswa, pencari kerja, hingga content creator TikTok. Mereka tumbuh di tengah banjir informasi, instastory, dan algoritma.

Tanda-Tanda Keapatisan Politik

Mari kita jujur, tidak sedikit dari Gen Z yang merasa politik itu membosankan, tidak relevan, dan terlalu kotor untuk disentuh. Dalam berbagai survei, ditemukan bahwa:
  • Minat Gen Z untuk menjadi anggota partai politik sangat rendah.
  • Jumlah pemilih pemula yang tidak menggunakan hak suara cukup signifikan.
  • Banyak yang merasa politik hanya permainan elite dan jauh dari kehidupan sehari-hari.
  • Kalau tidak percaya, coba ajak anak muda diskusi tentang rancangan undang-undang. Mungkin reaksi pertama mereka: buka YouTube dulu untuk cari tahu apa itu "rancangan".

Tapi... Mereka Aktif di Media Sosial?
Nah, ini dia paradoksnya. Gen Z sangat vokal di media sosial. Mereka kritis terhadap isu sosial seperti lingkungan, hak perempuan, ketimpangan ekonomi, dan sebagainya. Mereka bisa marah besar karena satu kebijakan pemerintah viral di Twitter, tapi diam saat pemilu tiba.

Alasan Kenapa Gen Z Terlihat Apatis

1. Ketidakpercayaan terhadap Institusi Politik

Banyak dari mereka merasa sistem politik tidak transparan, penuh skandal, dan hanya menguntungkan segelintir orang. "Ngapain milih, toh ujung-ujungnya mereka juga begitu-begitu aja," adalah kalimat yang sering saya dengar.

2. Politik Dianggap Tidak Relevan

Bagi sebagian besar Gen Z, urusan hidup sehari-hari seperti cari kerja, belajar online, atau harga kopi susu lebih terasa dampaknya ketimbang siapa yang duduk di DPR. Akibatnya, politik dianggap sebagai "urusan orang tua".

3. Trauma Sosial dan Polarisasi

Diskusi politik di ruang keluarga atau grup WhatsApp bisa berubah jadi ajang debat kusir. Gen Z yang terbiasa dengan toleransi dan kebebasan berpendapat sering merasa jengah dengan atmosfer politik yang penuh ujaran kebencian.

4. Format Politik yang Kaku dan Kuno

Rapat partai, pidato berapi-api, atau baliho kampanye tidak menarik perhatian mereka yang lebih suka konten visual dinamis ala TikTok. Dunia politik tidak berhasil "berbahasa" dengan cara yang Gen Z pahami.

Overload Informasi dan Distraksi Digital

Saat segalanya ada di genggaman, dari gosip artis sampai konflik geopolitik, banyak dari mereka yang kelelahan menyaring informasi. Politik jadi salah satu hal yang di-skip.

Jadi, Apakah Mereka Benar-Benar Apatis?
Tidak juga. Gen Z sebenarnya sangat peduli, tapi bentuk kepeduliannya berbeda. Mereka ingin perubahan, tapi tidak percaya jalur formal bisa mewujudkannya. Mereka memilih cara lain: kampanye digital, petisi online, boikot brand, bahkan meme politik.

Dalam pandangan saya sebagai pengawas pemilu, ini bukan bentuk apatis, tapi bentuk politik alternatif yang menuntut kita untuk ikut berubah.

Solusi Konkret untuk Mengurangi Apatisme Gen Z terhadap Politik

1. Politik yang Lebih Relevan dan Membumi

Bicaralah dengan bahasa yang Gen Z pahami. Alih-alih hanya bicara soal "ideologi dan platform", coba hubungkan politik dengan isu nyata: harga pendidikan, peluang kerja, digitalisasi desa, dan kesehatan mental.

2. Libatkan Mereka Secara Aktif dan Kreatif

Undang Gen Z jadi relawan pemilu, content creator politik, atau duta pemilih muda. Bukan hanya sebagai objek sosialisasi, tapi subjek perubahan.

3. Gunakan Media Sosial sebagai Ruang Edukasi

Buat konten yang menarik, lucu, dan informatif. Edukasi pemilu lewat TikTok, Instagram Reels, atau podcast terbukti lebih efektif daripada brosur atau baliho.

4. Ciptakan Ruang Aman untuk Diskusi Politik

Buka forum diskusi tanpa intimidasi, tanpa judging. Anak muda perlu merasa didengar dan dihargai, bukan diceramahi.

5. Perbaiki Citra Institusi Politik

Ini PR terbesar. Jika lembaga politik tidak bisa menjadi teladan, maka jangan salahkan generasi muda jika mereka menjauh. Transparansi, akuntabilitas, dan integritas adalah kunci.

6. Masukkan Pendidikan Politik Sejak Dini

Pendidikan kewarganegaraan harus lebih praktis dan kontekstual. Ajarkan bagaimana menyuarakan pendapat, mengkritisi kebijakan, dan ikut serta dalam proses demokrasi.

Demokrasi Butuh Gen Z

Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa partisipasi. Dan masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan mereka yang sekarang duduk di bangku kuliah, magang, atau sedang sibuk ngedit konten. Gen Z bukanlah generasi yang tidak peduli mereka hanya belum menemukan alasan kuat untuk percaya pada sistem yang ada.

Sebagai bagian dari Bawaslu, saya percaya tugas kita bukan hanya mengawasi pemilu, tapi juga menghubungkan politik dengan kehidupan generasi muda. Mari kita ubah cara kita berpolitik, agar Gen Z tak lagi merasa politik itu membosankan atau menjijikkan, tapi penting dan menyenangkan.

Toh, kalau Gen Z bisa bikin konten 15 detik yang bisa mengguncang dunia, siapa bilang mereka nggak bisa mengguncang panggung politik?