Komisi Informasi Aceh, Jangan Biarkan Rakyat Bertanya dan OPD Menguap

SELAMAT dan sukses kepada para Komisioner Komisi Informasi Aceh (KIA) yang baru saja dilantik. Jabatan ini bukan sekadar amanah, melainkan juga ujian. Apakah keterbukaan informasi bisa menjadi budaya, atau tetap menjadi jargon belaka? Harapan rakyat sederhana, jangan biarkan hak untuk tahu dikubur dalam tumpukan berkas, dan jangan biarkan informasi publik dikunci dengan kunci yang hanya dimiliki segelintir elite.
Komisi Informasi Aceh, Jangan Biarkan Rakyat
Transparansi, katanya adalah ruh dari demokrasi. Tapi di beberapa sudut kantor pemerintahan, ruh itu lebih mirip mitos. Sejenis makhluk halus yang hanya muncul di spanduk dan pidato Hari Keterbukaan Informasi. Di sinilah seharusnya Komisi Informasi Aceh (KIA) tampil. Bukan sebagai pemandu acara seremonial, tapi sebagai pengawal hak publik untuk tahu. Namun kenyataan kadang lebih pahit dari secangkir kopi tanpa gula di warung sebelah mesjid.

Komisi Informasi Aceh bukan hanya semacam "kantor pos" tempat aduan publik dikirim dan dilipat lalu diarsipkan. Ia adalah harapan terakhir saat masyarakat merasa dicuekin oleh instansi yang menjawab permintaan informasi dengan kalimat sakti "Tunggu balasan resmi kami"—yang sering kali hanya berupa kesunyian.

Secara normatif, KIA punya peran penting. Mereka bertugas menyelesaikan sengketa informasi, mendorong keterbukaan badan publik, dan memberikan edukasi tentang hak atas informasi. Di atas kertas, KIA ibarat Superhero yang siap terbang menyelamatkan dokumen yang disembunyikan. Sayangnya, dalam realita birokrasi kita, kertas itu sering dilipat jadi kapal-kapalan, hanyut dalam sungai protokoler yang berkelok-kelok.

Apakah masyarakat tahu bahwa mereka punya hak untuk bertanya, meminta salinan dokumen, dan mengetahui bagaimana angggaran publik dihabiskan? Tidak semua. Karena edukasi keterbukaan informasi seringkali dibawakan seperti kuliah umum yang bahasanya lebih cocok untuk seminar hukum internasional daripada warga gampong.

Negara kita kadang seperti tetangga misterius. Punya banyak kamar tertutup, dan selalu menjawab pertanyaan dengan "Itu urusan internal" atau "Belum bisa kami sampaikan ke publik". Padahal publik bukan ingin tahu rahasia dapur pribadi, mereka cuma ingin tahu kenapa anggaran ini lebih besar dari anggaran itu.

KIA hadir sebagai penengah. Tapi kadang, mereka dipaksa hanya jadi penonton. Ketika badan publik ngotot merahasiakan informasi karena takut terciduk salah urus, KIA harus berjibaku menyulap undang-undang jadi argumen. Namun, apa daya, kadang UU KIP kalah telak dengan alasan-alasan yang tidak logis.

Sidang Sengketa

Menariknya, proses penyelesaian sengketa informasi di KIA sering lebih seru dari sidang MK. Ada pihak pemohon yang datang dengan harapan dan bukti, ada termohon yang hadir dengan setumpuk alasan dari yang masuk akal hingga yang pantas dijadikan meme.

Kadang, alasan penolakan informasi begitu kreatif sampai layak diajukan ke festival humor nasional. "Data itu tidak bisa kami berikan karena sedang dikaji oleh tim teknis." Padahal sudah 8 bulan, dan tim teknisnya entah sedang mengkaji atau sedang bertapa.

Salah satu tugas utama KIA adalah melakukan edukasi keterbukaan informasi. Tapi pendekatannya sering masih bersifat elite. Seminar dilakukan di hotel dengan undangan terbatas, slide penuh jargon, dan peserta yang setengah mengantuk. Padahal rakyat yang paling butuh pencerahan, malah sibuk ngurus sawah atau antri minyak subsidi.

Bagaimana mungkin masyarakat tahu haknya jika pendekatan edukasinya seperti pelajaran filsafat pada anak SD? KIA perlu turun ke lapangan, masuk ke meunasah, ke warung kopi, ke grup WhatsApp, dan menjelaskan bahwa "Hak atas informasi" itu bukan teori hukum belaka. Bahwa rakyat berhak tahu siapa yang dapat proyek jembatan yang ambruk seminggu setelah peresmian.

Badan publik seharusnya jadi teladan keterbukaan. Tapi realitasnya, banyak yang lebih suka main petak umpet dengan informasi. Dokumen anggaran, laporan penggunaan dana hibah, bahkan notulen rapat bisa dikunci seolah menyimpan rahasia negara.

Ada pula yang menolak permintaan informasi hanya karena pemohon tidak pakai kop surat.
"Maaf, Anda bukan LSM resmi." Atau yang lebih kejam "Kami hanya melayani permintaan dari lembaga yang terdaftar."
Padahal undang-undang tak pernah mensyaratkan status sosial pemohon. Rakyat biasa pun berhak tahu. Tapi di negeri ini, hak bisa berubah bentuk tergantung siapa yang meminta.

KIA Harus Naik Level

Komisi Informasi Aceh tidak boleh puas jadi wasit pasif. Sudah saatnya KIA menjadi pemain aktif dalam orkestrasi transparansi. Bukan hanya menunggu laporan sengketa, tapi juga proaktif mengevaluasi badan publik, memberikan teguran, bahkan menyusun daftar hitam lembaga yang abai keterbukaan.

KIA bisa membuat indeks keterbukaan gampong, misalnya. Atau menerbitkan "Daftar Hitam Tahunan" bagi SKPK yang paling sulit diajak transparan. Atau membuka portal publik yang interaktif, tempat rakyat bisa cek status permintaan informasi secara real-time. Kalau mau lebih kreatif, bisa bikin reality show "Mencari Informasi yang Hilang".

Harapan untuk KIA

Bayangkan jika KIA punya kantor cabang di tiap kabupaten, dengan petugas yang nongkrong di warung kopi setiap hari. Menyapa warga, menjelaskan hak, bahkan membantu menulis surat permintaan informasi. Bayangkan jika setiap badan publik punya papan informasi digital yang bisa diakses siapa saja, tanpa harus mengisi formulir 7 lembar dan persyaratan tanpa ribet.

Bayangkan jika ketika masyarakat bertanya, negara langsung menjawab. Bukan berkilah. Bukan menggiring ke labirin birokrasi. Tapi benar-benar menjawab.

Tapi ini baru bayangan. Karena dalam kenyataannya, seringkali KIA lebih sibuk mengurus sengketa yang tak kunjung selesai, dibanding menyusun strategi pencegahan. Layaknya pemadam kebakaran yang datang setelah rumah habis terbakar, lalu berkata "Kami akan evaluasi SOP kami."

Mendorong Generasi Melek Informasi

Pekerjaan KIA seharusnya tidak berhenti di ruang sidang. Mereka perlu jadi motor penggerak literasi informasi. Sekolah-sekolah, pesantren, dan kampus harus jadi mitra strategis. Jangan sampai generasi muda lebih hafal nama-nama selebgram ketimbang tahu cara meminta salinan dokumen anggaran.

Sudah waktunya ada modul keterbukaan informasi dalam pelajaran PKN. Sudah saatnya kepala desa diberikan pelatihan tentang bagaimana menjawab permintaan informasi tanpa harus konsultasi dulu ke pak sekdes yang kebetulan lagi nyambi jadi makelar tanah.

Keterbukaan informasi bukan sekadar slogan. Ia adalah janji konstitusi yang tak boleh dikhianati. Komisi Informasi Aceh bukan pelengkap penderita dalam sistem demokrasi. Ia adalah penjaga gawang terakhir agar negara tidak berubah jadi istana kaca hitam—tempat rakyat bisa melihat gedungnya, tapi tak tahu apa yang terjadi di dalamnya.

Jika kita ingin membangun Aceh yang beradab dan berintegritas, maka transparansi bukanlah pilihan, tapi keharusan. Dan KIA harus jadi lebih dari sekadar pengurus sengketa. Ia harus jadi suara terang di tengah lorong gelap birokrasi.

Karena ketika rakyat bertanya dan negara memilih diam, di sanalah demokrasi mulai retak. Dan jika keterbukaan dianggap gangguan, maka patut kita curigai, siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh kebisuan?
Tulisan ini merupakan salah satu dari sekian banyak harapan masyarakat terhadap Komisioner Komisi Informasi Aceh yang baru. Harapan agar mereka bukan hanya hadir sebagai simbol, tapi benar-benar menjadi jembatan antara rakyat yang bertanya dan negara yang (seharusnya) menjawab.