Ketika Anggaran Negara Dipangkas, Bagaimana Kerja-kerja Bawaslu?

TAHUN 2025 datang dengan gebrakan baru dari pemerintah: efisiensi anggaran nasional yang katanya bisa bikin APBN lebih ramping dan lincah seperti atlet senam ritmik. Pemerintah memangkas belanja negara hingga lebih dari 300 triliun rupiah

Tujuannya mulia mengurangi pemborosan dan memastikan setiap rupiah bekerja keras demi rakyat. Tapi, di balik jargon-jargon penghematan ini, ada pertanyaan yang menggelitik: bagaimana nasib lembaga-lembaga negara, khususnya Bawaslu, di tengah rezim penghematan ini?
Ketika Anggaran Negara Dipangkas, Apa Kabar Bawaslu
Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu memang tidak sedang sibuk-sibuknya tahun ini. Tidak ada pemilu nasional, tidak ada Pilpres, bahkan Pilkada baru saja dilaksanakan. Jadi, seharusnya tidak terlalu berdampak, bukan? Eits, jangan buru-buru menyimpulkan.

Tahun Sepi Pemilu, Tapi Bukan Tahun Santai

Memang benar, secara kalender elektoral, 2025 adalah tahun jeda. Namun, bukan berarti Bawaslu bisa selonjoran santai sambil ngopi di kantor. Justru tahun ini adalah momen penting untuk:
  • Mengevaluasi kinerja pengawasan pada Pemilu 2024.
  • Menyusun strategi dan inovasi pengawasan ke depan.
  • Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
  • Membangun sistem pengawasan berbasis teknologi.
  • Menguatkan jejaring pengawasan partisipatif bersama masyarakat sipil.
Semua itu butuh anggaran. Tapi, ketika efisiensi datang seperti tamu tak diundang yang langsung minta makanan dibungkus, banyak rencana harus direvisi. Bahkan mungkin, ditunda atau dibatalkan.

Efisiensi: Antara Ideal dan Realitas

Mari kita jujur, efisiensi bukan kata yang asing bagi lembaga negara. Tiap tahun pasti ada review, audit, dan saran untuk "mengencangkan ikat pinggang." Tapi tahun ini agak berbeda. Pemangkasan belanja negara bukan sekadar menunda beli printer baru, tapi bisa sampai ke titik di mana:
  • Perjalanan dinas pengawas daerah untuk rapat koordinasi bisa dibatalkan.
  • Pelatihan peningkatan kapasitas staf dikurangi atau bahkan ditiadakan.
  • Kegiatan sosialisasi dan penguatan pengawasan partisipatif harus disiasati dengan webinar hemat kuota.
Padahal, tahun-tahun non-pemilu seperti ini justru krusial untuk memperkuat fondasi lembaga. Ingat pepatah lama 'sedia payung sebelum hujan'. Nah, tahun 2025 seharusnya jadi momen membeli (atau minimal memperbaiki) payung itu sebelum 'badai' Pemilu 2029 datang.

Potensi Risiko di Balik Penghematan

Efisiensi tentu baik, asal dilakukan dengan cermat. Kalau tidak, bisa seperti diet ekstrem, awalnya semangat, tapi lama-lama lemas. Bagi Bawaslu, pemangkasan anggaran berpotensi menimbulkan beberapa hal:
  1. Penurunan Kualitas Kelembagaan: Tanpa cukup anggaran, pelatihan SDM, pembaruan sistem IT, dan kegiatan peningkatan kapasitas bisa terganggu. Padahal, ini adalah investasi jangka panjang untuk demokrasi.
  2. Lemahnya Respons terhadap Konflik Lokal: Walaupun tidak ada pemilu, potensi konflik politik tetap ada. Misalnya, PSU yang terjadi dibeberapa wilayah. Baca juga Drama Pilkada Barito Utara dan Cermin Buram Demokrasi Kita.
  3. Kendala Koordinasi dan Konsolidasi: Efisiensi yang terlalu drastis bisa mengurangi pertemuan koordinasi nasional dan daerah, yang penting untuk menjaga kesatuan gerak dan persepsi antara Bawaslu RI, provinsi, hingga kabupaten/kota.

Efisiensi, Tapi Jangan Lupakan Demokrasi

Di tengah semangat efisiensi, penting untuk tidak lupa bahwa demokrasi itu butuh biaya. Bukan berarti harus boros, tapi perlu ada ruang agar lembaga pengawas seperti Bawaslu tetap bisa menjalankan peran strategisnya.

Kalau demokrasi diibaratkan rumah, Bawaslu itu seperti sistem alarmnya. Bayangkan kalau alarmnya rusak gara-gara tak ada dana servis. Begitu maling masuk (baca: kecurangan pemilu), semua orang baru panik.

Kita tentu tidak ingin rumah demokrasi Indonesia kosong melompong dari pengawasan hanya karena dompet negara sedang dikencangkan.

Apa yang Bisa Dilakukan Bawaslu?

Di tengah keterbatasan anggaran, Bawaslu tetap bisa melakukan banyak hal, tentunya dengan strategi kreatif dan pendekatan yang adaptif. Beberapa opsi yang bisa dijajaki antara lain:
  • Kolaborasi dengan LSM dan Perguruan Tinggi: Bawaslu bisa menggandeng lembaga masyarakat sipil dan kampus untuk riset, pendidikan pemilih, dan pengawasan partisipatif.
  • Optimalisasi Teknologi: Gunakan platform digital untuk sosialisasi dan koordinasi. Webinar, e-learning, dan sistem informasi pengawasan bisa jadi solusi murah meriah tapi berdampak.
  • Pemetaan Risiko Politik Lokal: Fokus pada wilayah rawan konflik atau pelanggaran, meskipun bukan tahun pemilu, agar bisa dilakukan mitigasi dini.
  • Reformasi Internal: Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur, SOP, dan kinerja kelembagaan untuk perbaikan jangka panjang.

Harapan dari Sudut Pandang Penyelenggara Pemilu

Sebagai bagian dari ekosistem demokrasi, Bawaslu tentu memahami bahwa efisiensi adalah keharusan. Tapi pemerintah juga perlu melihat bahwa penguatan lembaga demokrasi tidak boleh tergerus hanya karena ingin menyehatkan anggaran negara.

Idealnya, kebijakan efisiensi harus dibarengi dengan kebijakan afirmatif untuk lembaga strategis seperti Bawaslu. Kalau ada pemangkasan, harus ada juga upaya mendukung inovasi dan efektivitas kerja lembaga. Bukan hanya sekadar hemat-hemat tapi lupa investasi masa depan.

Demokrasi Tidak Bisa Didiskon

Efisiensi itu penting, apalagi kalau anggaran negara sedang megap-megap. Tapi jangan sampai semangat menghemat justru membuat kita lupa bahwa demokrasi itu seperti taman, kalau tidak dirawat, bisa jadi semak belukar. Dan Bawaslu adalah tukang kebunnya.

Tahun 2025 memang bukan tahun pemilu. Tapi justru karena itulah, ini tahun penting bagi Bawaslu untuk memperkuat akar, membenahi cabang, dan memastikan batang demokrasi tetap kokoh. Jangan sampai karena anggaran ditekan, yang tumbuh malah ilalang.

Karena, pada akhirnya, demokrasi yang sehat adalah investasi terbaik bagi masa depan bangsa. Dan itu, sayangnya, tidak bisa dibeli di toko diskon. Baca juga Demokrasi tanpa Literasi Politik: Jalan Pintas Menuju Kekacauan

***
Catatan: Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dalam kapasitas sebagai warga negara dan bagian dari penyelenggara pemilu yang menjunjung tinggi prinsip etik, bukan pernyataan resmi kelembagaan dari Bawaslu Kabupaten Bireuen.