Drama Pilkada Barito Utara dan Cermin Buram Demokrasi Kita

PEMILIHAN atau Pilkada Barito Utara 2024 bisa dibilang layak masuk nominasi "Drama Pemilihan Kepala Daerah Paling Mengejutkan Tahun Ini". Bukan karena serunya debat atau kreatifnya visi-misi calon, tapi karena semua pemain utama yakni dua pasangan calon dikeluarkan dari pertandingan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Drama Pilkada Barito Utara dan Cerminan Buram Demokrasi Kita
Ya, dua-duanya didiskualifikasi. Kalau ini sepak bola, kita mungkin sudah minta VAR dari awal. Lihat disini

Tentu saja, ini bukan cuma soal “gol yang offside”, tapi soal pelanggaran serius: politik uang yang katanya terjadi terstruktur, masif, dan sistematis. Kata MK, ada yang bagi-bagi duit jutaan ke pemilih, bahkan menjanjikan umrah segala. Ini bukan sekadar nyogok, ini udah masuk level “serangan fajar syariah”.

Tapi pertanyaannya, bagaimana bisa pelanggaran sebesar itu lolos dari radar pengawas pemilu? Apakah ini berarti Bawaslu-nya ketiduran?

Penjaga Gawang yang Dihujani Bola, tapi Gawangnya Robek

Sebagai anggota Bawaslu Bireuen aktif, saya tahu persis bahwa tugas pengawas pemilu itu ibarat jadi penjaga gawang di tengah hujan deras, bola datang dari segala arah, dan… sarung tangan pun kadang nggak ada. Apalagi kalau tekanan datang bukan cuma dari lawan, tapi dari penonton dan wasit cadangan.

Dalam teori dan aturan, Bawaslu punya kekuatan super: dari mencegah, mengawasi, hingga menindak pelanggaran. Tapi dalam praktik, kami sering harus berhadapan dengan tantangan yang tidak ditulis dalam buku panduan.

Ada beberapa hal yang membuat lemah secara sistemik dalam pengawasan.

Pertama, SDM di lapangan diisi oleh orang-orang baik, tapi dengan gaji minim, perlindungan nol, dan kadang jadi sasaran intimidasi. Coba bayangkan, pengawas TPS yang hanya dibekali honor seadanya, harus berani melawan "serangan amplop" dari tim sukses yang punya backing kuat. Berat, Bung!

Kedua, budaya politik uang sudah terlalu dianggap biasa. Di banyak daerah, uang bukan lagi sogokan tapi semacam “tanda perhatian” dari calon. Bahkan, ada yang bilang, “Kalau calon gak ngasih uang, berarti dia gak serius.” Miris, tapi nyata.

Ketiga, penindakan hukum masih penuh kendala. Misalnya, ketika laporan sudah masuk, bukti sudah dikumpulkan, tapi ujung-ujungnya kandas di kepolisian atau kejaksaan karena minim alat bukti atau... tekanan politik. Bawaslu itu bukan penegak hukum, kami hanya bisa merekomendasikan. Sisanya? Ya, kita tunggu proses hukum yang (kadang) tak bergerak.

Putusan MK: Pukulan Sekaligus Peringatan

Putusan MK sebenarnya jadi "tamparan manis" untuk semua pihak. Bahwa pemilu bukan cuma soal siapa yang punya modal, tapi siapa yang bermain bersih. Ketika dua pasangan calon dicoret karena politik uang, itu menunjukkan bahwa hukum masih punya taji 'asal dibawa ke meja MK".

Tapi ini juga sinyal bahwa sistem pengawasan kita belum bekerja maksimal. Harusnya, kasus seperti ini bisa ditangani lebih awal, tanpa harus naik sampai ke Mahkamah. Tapi ya... kalau pemain curang dan wasitnya kurang sigap, ya terpaksa deh VAR turun tangan.

Perbaiki Bersama

Saya tidak ingin bilang Bawaslu gagal total. Tapi kami juga tidak bisa sok sempurna. Yang pasti, pengawasan pemilu itu kerja kolektif. Kalau cuma Bawaslu yang kerja, sementara masyarakat diam, penegak hukum lamban, dan partai politik sibuk bagi-bagi amplop, ya susah juga.

Sekarang saatnya kita berhenti saling tunjuk. Yang kita butuhkan adalah:
  1. Sistem pelaporan yang cepat dan aman. Misalnya aplikasi yang bisa dipakai masyarakat untuk lapor politik uang tanpa takut ketahuan.
  2. Perlindungan untuk pengawas. Jangan sampai mereka jadi korban intimidasi karena menjalankan tugas.
  3. Pendidikan politik ke akar rumput. Kalau masyarakat tahu bahwa menjual suara itu seperti menjual masa depan daerahnya, mungkin mereka akan lebih peduli.
  4. Kolaborasi lintas lembaga. Bawaslu, KPU, Kepolisian, Kejaksaan, Ormas, dan media harus kompak. Kalau semua sibuk main sendiri, yang menang ya koruptor.
  5. Rekrutmen calon kepala daerah yang lebih selektif. Partai jangan cuma pilih calon yang “kuat modal”, tapi juga kuat moral dan integritas.

Pelajaran dari Barito Utara

Pemilihan bukan cuma soal menang-kalah. Ini soal membentuk masa depan. Ketika prosesnya sudah cacat sejak awal karena uang, maka hasilnya juga cacat. Kalau dari kampanye saja sudah bayar-bayaran, jangan heran kalau saat jadi kepala daerah nanti yang dibagi adalah proyek dan jabatan.

Putusan MK ini bukan akhir, tapi awal dari upaya memperbaiki demokrasi kita. Ini semacam “alarm pagi” yang menyuruh kita bangun.

Jangan sampai kita terus-terusan tidur sambil mimpi punya pemimpin jujur, padahal di dunia nyata kita biarkan demokrasi dibajak uang. Baca Demokrasi tanpa Literasi Politik: Jalan Pintas Menuju Kekacauan

Mengawasi pemilu itu bukan tugas Bawaslu saja. Ini tanggung jawab bersama. Demokrasi itu ibarat rumah besar kalau satu orang saja yang bersihkan, ya tetap kotor. Tapi kalau semua ikut jaga, rumah itu bisa jadi tempat yang layak dihuni.

Semoga ke depan, tidak ada lagi drama diskualifikasi massal. Bukan karena pelanggaran dibiarkan, tapi karena kesadaran kolektif kita sudah naik level. Dan semoga, dalam pemilihan berikutnya, suara rakyat bukan ditentukan oleh amplop, tapi oleh akal sehat. Semoga!!
***
Catatan: Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dalam kapasitas sebagai warga negara dan bagian dari penyelenggara pemilu yang menjunjung tinggi prinsip etik, bukan pernyataan resmi kelembagaan dari Bawaslu Kabupaten Bireuen.