"Bro, lo tau nggak soal putusan DKPP terhadap salah satu oknum penyelenggara pemilu?" Bersamaan dengan itu, dia juga mengirimkan satu file putusan DKPP tersebut Aku menaruh cangkir. Ah, rupanya pagi ini bukan hanya kopi yang panas. Ada isu yang jauh lebih hangat, oknum penyelenggara pemilu, ternyata diduga menggunakan ijazah palsu. Begitu pikirku ketika membuka lembaran demi lembaran putusan tersebut.
DKPP—lembaga yang ngurusin etikanya penyelenggara pemilu baru saja menjatuhkan vonis yang katanya 'tegas' yakni peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua. Katanya sih dalam putusan itu, ijazah S1 yang ia pakai itu... punya orang lain.
Dan yang lebih ajaib lagi, nomor ijazah itu milik dua orang berbeda! Bisa jadi ini semacam ijazah horcrux ala Harry Potter.
Menurutku, ini bukan perkara sepele. Dalam dunia birokrasi, ijazah adalah paspor menuju jabatan. Maka kalau paspor itu palsu, ya logikanya, perjalanan ke dalam sistem itu ilegal. Kalau kata temanku yang dosen hukum, ini bisa jadi "cacat sejak dalam kandungan administrasi".
Dan ketika jabatan publik didapat lewat cara curang, maka segala hak dan uang yang diterima dari jabatan itu... well, bisa jadi ranah korupsi, Bung, "begitu balasku."
"Serius? Jadi selama ini oknum itu nggak sah dong jadi bagian penyelenggara pemilu?" tanya si kawan lagi.
Aku menyeruput kopi. Nikmat, tapi ada rasa getir di ujung lidah, mungkin karena berita ini. Secara etik, ya, dia telah melanggar integritas. DKPP tidak main-main, mereka menyatakan oknum pejabat itu tidak profesional dan tidak jujur dalam proses seleksi.
Tapi secara hukum administrasi, kalau belum ada pembatalan dari lembaga yang mengangkat atau yang melantik, maka secara formal jabatan itu masih sah... sampai dibatalkan.
Ini yang bikin runyam. Seolah-olah kita tahu bangunan itu dibangun di atas tanah sengketa, tapi tetap ditempati sampai ada putusan pengadilan.
Tapi bagaimana jika kita geser pertanyaannya sedikit lebih tajam: "Apakah ini bisa masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi?"
Nah, di sinilah obrolan pagi kita mulai terasa seperti diskusi meja redaksi majalah hukum. Jawabannya bisa banget. Karena kalau seseorang menggunakan dokumen palsu untuk mendapatkan jabatan dan dari situ menerima gaji, tunjangan, dan segala fasilitas negara, maka itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Pasal 3 UU Tipikor menyebut dengan jelas:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara...
Cocok, bukan? Ini bukan sekadar soal etika. Ini soal duit negara yang keluar untuk membayar seseorang yang—kalau benar ijazahnya palsu—tidak pernah layak menerima jabatan itu sejak awal. Baca juga Pengertian dan Ciri-Ciri Demokrasi
Dan jangan lupakan Pasal 2 UU yang sama: cukup dengan perbuatan melawan hukum dan ada kerugian negara, maka unsur korupsi sudah terpenuhi. Tak perlu ada niat jahat yang super kompleks. Cukup pura-pura punya ijazah, lalu terima gaji bertahun-tahun, dan ketahuan belakangan. Voila! Tiket ke Kejaksaan.
Lantas, bagaimana menentukan ada tidaknya kerugian negara? Ya tinggal audit saja. Berapa total gaji dan tunjangan yang diterima oknum pejabat tersebut selama menjabat? Berapa lama dia duduk manis menikmati fasilitas sebagai penyelenggara pemilu? Semua itu bisa dihitung rupiahnya.
Kalau ternyata jumlahnya signifikan (dan biasanya memang signifikan), maka sangat mungkin aparat penegak hukum, baik KPK, Kejaksaan, maupun Polri bisa turun tangan. Jangan salah, sejarah mencatat banyak kasus korupsi bermula dari kecurangan administratif sekecil ini.
Jadi, bisa dibilang, kasus ini punya potensi besar. Bukan hanya sekadar pemecatan dari jabatan, tapi juga proses hukum yang bisa berujung bui. Tentu, semua itu harus dibuktikan lewat penyelidikan, penyidikan, dan proses pengadilan yang adil. Kita bukan jaksa di teras rumah meskipun kadang komentar kita lebih pedas dari tuntutan jaksa beneran.
Yang menarik, oknum tersebut sampai sekarang masih menjabat sebagai penyelenggara pemilu. Bayangkan, seseorang yang baru saja dipecat dari posisi ketua karena masalah etika dan dokumen, tapi masih aktif duduk di lembaga yang tugasnya adalah mengawasi kejujuran pemilu. Ironi seperti ini hanya bisa dijelaskan dengan satu kata: Indonesia.
Aku membalas chat temanku: "Bro, ini bukan cuma soal ijazah palsu. Ini soal sistem yang bisa kecolongan, berkali-kali. Dan kalau kita nggak kritis, kita yang bakal ditipu terus-menerus."
Dia balas, "Jadi ini potensi korupsi terselubung ya?"
Aku ketik, "Lebih tepatnya: korupsi tersenyum. Karena semua orang tahu, tapi pura-pura nggak lihat."
Pagi mulai menjelang siang. Kopiku tinggal ampas. Tapi ampas ini terasa lebih jujur dari ijazah yang dipakai oknum pejabat tersebut. Ia tak menyamar, tak mengaku sebagai biji kopi premium. Ia tahu dirinya di dasar cangkir—dan itu tak mengurangi nilainya.
Andai semua pejabat sejujur ampas kopi, barangkali negeri ini bisa jauh lebih harum.